28 April 2006 

Selamat Ulang Tahun, Shakespeare!

Swastika, London

Setelah enam bulan lebih tinggal di London dan puluhan kali melewati Shakespeare’s Globe Theatre, selama ini saya hanya bertanya-tanya dalam hati, “Seperti apa panggung tempat karya-karya Shakespeare itu dipentaskan?”. Hari ini pertanyaan itu terjawab sudah, akhirnya saya masuk kesana. Horeeee!

Sebelum masuk teaternya kami terlebih dulu mengikuti guided walk selama 2 jam penuh. Yap! Kami berjalan kaki menyusuri situs-situs yang terkait dengan hidup dan karya pujangga Inggris ini. Acara jalan kaki ini resminya dimulai di sebuah gereja di kawasan Shoreditch. Tapi, bagi saya dan Citta, perjalanan kami mulai dari mencari "Dimanakah Lynette chruch itu?". Gereja ini adalah starting point sekaligus tempat ngumpul dengan anggota rombongan lain. Petunjuknya hanya ‘di dekat Liverpool Street Station’. Kami berdua menyusuri jalan-jalan di sekitar Liverpool Street. Tapi sampe kiamat juga nggak akan ketemu Lynette Chuch itu karena ternyata salah dengar! Nama gereja yang sesungguhnya kami cari adalah St. Leonard Church! Huhuhuuu… Jauuuh deeeh...

Dari St. Leonard Church setiap anggota rombongan diberi setangkai mawar merah, dan mulailah berjalan kaki. Oya, rombongan kami ada 10 orang, termasuk saya, Citta dan Dorin. Dorin inilah yang memberi saya 2 tiket gratis Shakespeare walk. Harga aslinya 12 pound loh… Lumayan kan? Selama hubungan baik selalu kita jaga, rejeki tak kan kemana.

seorang aktor sedang ber-monolog dengan sekaleng bir. mabuk ceritanya!walaupun namanya guided walk, jangan harap ada pemandu yang menunjukkan jalan dan menjelaskan ada apa di kanan-kiri kita. Ternyata perjalanan ini mirip nyari harta karun. Kami dibekali secarik kertas berisi daftar tempat yang harus didatangi dan petunjuk jalan secara tertulis. Di kertas itu dijelaskan ‘jejak’ Shakespeare yang harus kami temukan di tiap lokasi. Ada juga cerita ringkas arti tempat itu bagi Shakespeare. Uniknya, di setiap akhir petunjuk jalan, ada satu-dua kalimat indah dari 154 baris soneta pujangga Inggris yang hidup di abad ke-16 itu. Wah.. seru banget! Jadi inget masa pramuka dulu!

“Turn into Bateman’s Row, walk past New Inn Square and New Inn Yard. You are now entering the area where vioces of Romeo, Juliet, Richard III and Falstaff were first heard.” Itu sedikit cuplikan dari petunjuk jalan yang membimbing kami ke Curtain Theatre, tempat Shakespeare pertama kali mementaskan karyanya. Sayang, bangunan ini sekarang telah berubah jadi gedung modern. Satu-satunya peninggalan sejarah hanyalah plakat yang ditempel di dinding, menjelaskan ini dulunya teater pertama Shakespeare.

Kami terus berjalan. Di Primrose Street, tiba-tiba kok rasanya ada yang merogoh back pack saya nih... Spontan saya nengok ke belakang, dan seorang perempuan memang merogoh tas, mengambil HP, lalu lari ke jalan! Segera saya kejar dooong... sambil berteriak "SHE TOOK MY PHONE!!" Kita tarik-tarikan HP di tengah jalan. Saya menang. HP kembali di tangan. Lalu perempuan itu, yang masih berdiri di tengah jalan, mulai membaca sajak dari sonetnya Shakespeare! Kali ini tentang trust. Wah... ternyata dia aktris! Dan dia sengaja 'mencopet' sebagai bagian dari acara kita.. ck ck ck!

patung Shakespeare dalam pose andalannya!“The country gives me proof and precedent of Bedlam beggars.” Kutipan dari King Lear (2.2), satu-satunya play karya Shakespeare yang sanggup saya baca sampai tuntas bukunya, dulu sekali. Perjalanan berlanjut ke George’s Yard, the Monument dan Southwark Cathedral. Di dalam katedral ini ada patung Shakespeare, seukuran aslinya, dalam pose andalannya yang terkenal itu!

Perjalanan kami tentunya berakhir di Shakespeare's Globe Theatre, teater kuno yang legendaris. Teater ini di desain dan dibangun tahun 1599, lalu menjalani renovasi besar di abad ke-18. Shakespeare’s Globe yang ada sekarang ini dibangun oleh aktor dan sutradara berkebangsaan Amerika, Sam Wanamaker. Ini salah satu bukti kalau Shakespeare sudah go international!

menyusuri taman ke arah St Botolph churchTeater open air yang terletak persis di sisi selatan Sungai Thames ini sungguh luar biasa! Semua terbuat dari kayu, panggung tinggi dengan pilar-pilar gaya romawi, dan façade bangunan mewah jaman dulu. Tempat duduknya penontonnya mengelilingi panggung, juga dari kayu dan bertingkat-tingkat. Ada yard juga loh! Yard ini adalah tempat buat penonton berdiri persis di depan panggung. Kalau suka nonton konser musik di kelas festival, rasanya cocok nonton play-nya Shakespeare di kelas yard ini. Secara keseleruhan, persis kayak yang ada di film Shakespeare In Love! Saya jadi berandai-andai, kapan ya bisa nonton Antony & Cleopatra atau The Comedy of Errors disini? Mungkinkah 23 April 2006, saat Shakespeare berulang tahun ke 442? To be or not to be, selamat ulang tahun Shakespeare!

Keterangan photo:
(1)
Seorang aktor sedang ber-monolog dengan sekaleng bir. mabuk ceritanya!
(2) Patung Shakespeare dalam pose andalannya!
(3) Menyusuri taman ke arah St Botolph Church


Read more»

22 April 2006 

Is Globalisation a New? (part 1)

The phenomenon of globalisation

Santo Dewatmoko, Sheffield

The occurrence of globalization is surely unavoidable by human kind all over the world. Due to modern technology in transport and communication, the politics and economy of these countries are subject to more and more influences from exterior boundaries. This aspect of globalisation almost appears to dwindle traditional power and sovereignty of states and countries.

People have different view on the term of ‘globalisation’. Firstly, it is said that globalisation is a process, not a state. Nowadays, it is generally perceived as a process in which the border of the countries collapse and all of the ‘globe’ and the world becomes a unity (Ali, 1998). In this way, globalisation describes the changes in societies and the world economy that result from dramatically communication, contacts between people in different parts of the world have become much easier. The trend of national and trans-national trading is now a world wide aspect of life. As technology makes it easier for interaction between far off countries, increasing international trade and cultural exchange. It describes the increase of trade and investing due to the falling of barriers and the interdependence of countries.

In specifically economic contexts, ‘globalisation’ refers almost exclusively to the effects of trade, particularly trade liberalization or free trade. (http://en.wikipedia.org/wiki/Globalization). Many authors argue that globalising forces will eventually lead to the destruction of the nation-state system in international politics. Many of those refuse this argument contend that nation-states will hold their traditional powers and sovereignty. The process of this globalisation itself can be seen from the link and interaction of economics of all nations. The expansion of multinational corporation (MNC), from superpower countries, especially from capitalists, to the third-world countries, is notably claimed as “unfair” expansion in the name of globalisation. This economic domination of superpower countries lead to a significant influence on political domain. Consequently, economic and political structures at the interstate-level play a more important role than the state-level. Nevertheless, it is said that when communism fell in the Soviet Union, the Mongolian economy and society in general received a tremendous shock, therefore “such a view implicitly views globalization not as a process but as a state” (Findlay and Lundahl, 2001)

Secondly, globalisation can be viewed from aspect of time. Most authors perceived that globalisation is a new phenomenon that has been started and developed since 1980s after the collapse of socialist regimes, especially in former Soviet Union (Ali, 1998). The elements of globalization include transborder capital, labour, management, news, images, and data flows. The main engines of globalisation since the demise of the Soviet Union in 1991 are the transnational corporations (TNCs), transnational media organizations (TMCs), intergovernmental organizations (IGOs), non-governmental organizations (NGOs), and alternative government organizations (AGOs) (Tehranian, 1998). Still most authors identify that the idea that globalization is a post Second World War phenomenon, still less a process of change that followed the collapse of the Cold War (Robertson, 2003, p.3). Further, globalisation can be traced from well-known 'voyages of discovery', in which Vasco da Gama and Columbus travelled around the new world, looking for gold and glory. It means that globalisation has emerged since 1500 as capitalism and colonialism in Europe began. Nevertheless, it can be argued that globalisation as a historical process has been going on for the past 5000 years, even more (Riggs, 1998).

This is why the topic of globalization is widely discussed, especially in current political economics. This article is intended to discuss the globalisation form in the historical standpoint and how it affects human life in general and in specified aspects. In doing so, it will present different views on the globalisation, identify several the aspects of globalisation, and explain the phenomena of globalisation. The main question here is whether the globalisation is a new phenomenon or not. It implies that if it has existed for many centuries, has globalisation always been the same phenomenon?

(to be continued: Globalisation: concept and definition)


Read more»

 

Are we observing earth's sustainable destruction?

Israr Ardiansyah, London
The Jakarta Post. 22 April 2006

In February 2006, amid the global outrage over the re-publication of the Prophet Muhammad cartoons, a story from Indonesia stole the show: The discovery of new species in Papua.

A full-page photo of Berlepschs' six-wired bird of paradise, which was rediscovered by the Conservation International team in Indonesia, and a large headline that read "Paradise found!" provoked me to buy The Independent's February 7 edition. The controversial populist tabloid The Sun published the story in its center page the following day, titled 'Scientists discover a Garden of Eden where no man has gone before.'

That was then. The story of the newly-discovered golden-mantled tree kangaroo and other unique creatures of the lost world recorded by the scientists from the Indonesian Institute of Science, Conservation International, Cendrawasih University and the Ministry of Forestry was about to make history. But the good news from the Foja Mountains in Papua was suddenly overshadowed by bad news from the same island.

A report released earlier this month by the Environmental Investigation Agency/Telapak, titled Behind the Veneer, revealed the other face of Papua's rich natural resources: Every cubic-metre of Merbau timber earns a local Papuan less than US$10, while the luxurious wood-flooring made from it is valued at $2,000 per cubic metre in the UK market.

The data, released by EIA/Telapak, said that in January 2005 alone, Merbau timber from Papua, smuggled out by international syndicates, generated $342 million-worth of wood-flooring sales in western markets, thanks to collusion between syndicates and corrupt Indonesian security personnel.

For years anti-illegal logging campaigns have targeted western consumers. The demand for tropical forest timber, however, is still high. The bitter reality of natural resources management and governance in Papua and Indonesia, not to mention the recent violent protests against Freeport's operation and related environmental destruction and socio-economic injustices, reveal more than just global fundamental aspects of the modern human being. They show the way we treat our natural resources in order to meet our drive for conspicuous consumption.

Every one of us contributes to our earth's destruction. The increasing human consumption of renewable natural resources is still considered business as usual. We feel less guilty for it because we think every one else does the same to the nature.

It is similar to a river -- our common property -- where every one throws rubbish into it and thinks that he or she only makes a minor contribution, a situation well-illustrated by Garrett J. Hardin in his The Tragedy of Commons. However, we still consume and waste goods excessively, almost half a century after this landmark article was written.

The April 22 Earth Day celebration, pioneered in the 1970s by U.S. senator Gaylord Nelson and student activists, led by Denis Hayes, is the one day of the year dedicated to raising people's awareness of the environment.

We may organize environment friendly activities and not pollute the town during Earth Day but the next day we're back to normal. Assuming that we are aware of Earth Day, aren't we all just celebrating earth's sustainable destruction?

We must acknowledge that we cannot leave environmental problems to market mechanisms because they are the roots of our conspicuous consumption. How can we rely on a mechanism which has contributed the most to environmental deterioration in the name of the provision of human needs (and greed)? A report on increasing car sales is still more impressive than one on the rise in the number of public-transport users.

On the other hand, most consumers still think that exotic hardwood furniture or energy-sapping bright lighting systems are worth buying to decorate their houses. Hence, we should keep demanding the government creates regulations and public facilities based on sustainable development agenda.

Moreover, the business actors need to shift their business paradigm by promoting greener production lines and sustainable consumption practices. Within this paradigm, Corporate Social Responsibility is not merely a public-relations matter. It is a must. The negative market reaction in Europe to the recent sale of the "environmentally friendly" cosmetic company The Body Shop to L'Oreal -- despite the latter's vow to uphold the ethical values promoted by The Body Shop's founder Dame Anita Roddick -- is a sign that consumers are becoming more aware of ethical issues related to consumption.

Meanwhile, we must acknowledge that the media is becoming sharper in its criticisms of global environmental destruction. A research report released by Fritz Reusswig and his colleagues supported by the European Climate Forum last year found that the blockbuster movie The Day After Tomorrow reinforced people's willingness to act.

I strongly believe a similar response will be given to An Inconvenient Truth, a movie whose production is supported by former U.S. Vice President Al Gore, when it is released this summer.

Improved environmental awareness communication, indicated by the increasing frequency of media coverage on environmental issues, is quite promising. Maybe this April 22 Earth Day won't mark another celebration of sustainable earth destruction.

******
The writer is a British Chevening Award scholar undertaking a postgraduate program in Environment, Science and Society at University College London (UCL). He can be reached at israrardi@yahoo.com.


Read more»

20 April 2006 

Bumi Manusia, Pembawa Perubahan..

Citta Prasidha, London

Pramoedya Ananta Toer namanya..

Waktu saya SMU, teman saya, Japra, asik baca Bumi Manusia di ruang OSIS sampe lupa makan, jadi karena penasaran, saya akhirnya pinjem, jaman itu saya cuma baca novel sebangsa John Grisham, Michael Crichton, dan Mary Higgins Clark, dan berhubung dulu masih SMU dan masih anak gaoll (coba di-Google, SMU 5 Bandung, SMU paling gaooul yg banyak menelorkan artis2 lokal, hehehe) saya males baca-baca buku Indonesia, mindset saya dulu western sekali, baca majalah Dolly, buku2 luar, denger lagu berlirik asing, uuuh betapa membosankan! Dulu saya ngga tau Chairil Anwar punya banyak puisi bagus (coba baca Cintaku Jauh di Pulau, it's my favorite!), ga tau Ayu Utami, Dewi Lestari dan penulis2 wanita Indonesia ngga kalah dari Sophie Kinsella dan Candace Bushnell..

Tapi sejak saya baca Bumi Manusia, saya jadi ketagihan baca literatur Indonesia! ga tanggung-tanggung tetralogi abis dibabat dalam dua minggu, diteruskan Gadis Pantai, Arus Balik yang setebal batu bata, dan beberapa essay pendek karangannya..

BumimanusiaSaya suka kata2 Minke di Anak Semua Bangsa: "Ya, Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun hanya dengan mulut." gila! brilian! betapa ajaibnya pengaruh kata-kata dan buku-buku yang kita baca! pantesan dulu tahanan politik kalo ketauan baca secarik kertas aja bisa dipukulin..

Oiya, dan saya suka bagaimana dia cerita pengalamannya diasingkan sampai ke Pulau Buru. Saya bencii denger koleksi buku dan arsip tulisannya dibakar oleh tentara! Kurang ajar! membakar buku-buku, jahat sekali!

Tadinya saya ga mau tahu soal perjuangan bangsa Indonesia, ahh sebodo! Nah mungkin ini dia cara pandang remaja Indonesia pada umumnya tentang bangsanya, seperti saya waktu SMU, how unbelievably ignorant! tapi sejak saya baca buku Pramoedya, saya mulai tertarik baca2 tentang Indonesia, dari Soekarno dan demokrasi terpimpinnya, sampe cerita-cerita yang dulu banyak ditutup-tutupi pada masa orde baru, ah presiden-presiden kita ini, ckckck.. duh sok tahu! Padahal saya ngga suka politik lho, sok kasih komentar!

100_4664_1But i still think politicians just ARGUE, they don't think.. ^_^ maap ya kalo ada yg tersinggung, saya kan orang awam.. hehehe..

Pada intinya, aduh apa ya! hahaha ngelantur lagi deh, maklum ini krisis seperempat abad, pokonya saya bangga, bapak kita satu ini adalah pembuat perubahan, setidaknya di hidup saya, dia (peraih Nobel Prize lho!) ngga takut untuk berbicara apa yang ada di kepalanya dan bikin perubahan dari goresan pena, ahh saya cuma orang biasa, tapi saya ingin seperti dia..

(ps: the photo was given by Citra, thx)


Read more»

 

Hai Arianto!

Citra Dyah Prastuti, London

Hari ini gw bangun ekstra pagi dengan hati berdebar-debar ingin bertemu Arianto. Siapakah Arianto ini? Hoho, gw gak kenal. Yang jelas, dia adalah laki-laki, aseli Indonesia, umurnya 17 tahun. Meski gak kenal, hari ini gw ngikut kru film yang bakal membuat dokumenter tentang Arianto.

Ini semua dimulai dari sebuah telfon kemarin pagi. Gw mendapat telfon dari seseorang bernama Sarah yang dapet nomor gw dari Mbak Dini. Bla bla bla, Sarah menjelaskan panjang lebar, gw diminta menjadi interpreter buat Arianto yang tengah perawatan dari dokter bedah di Inggris untuk tumor neurofibrioma di wajahnya. Tumor what?

Setelah telfon-telfonan sama Sarah kelar, gw langsung nge-google, mencoba berkenalan dengan Arianto. Arianto ini punya tumor di wajahnya. Beratnya lebih dari satu kilogram karena operasi besar pertama yang dilewati Ari adalah untuk mengangkat 950 gram tumor dari wajahnya. Saking besarnya tumor Ari, dia selalu pusing-pusing dan lehernya terancam patah karena harus menanggung beban berat itu.

Januari kemarin adalah operasi besar terakhir yang dialami Ari di Chelsea and Westminster Hospital School. Dagu, bibir dan hidungnya dibenerin sehingga kembali ke posisi semula. Karena tumor dan rangkaian operasi yang mesti dilewatin Ari , dia mesti bulak-balik Jakarta-London sejak April tahun lalu. Di Jakarta, Ari tinggal di Yayasan Sinar Pelangi yang emang mengkhususkan diri membantu orang-orang seperti Ari.

Menemukan akomodasi Ari ini sempet bikin gw bulak balik gak keruan. Ari ini tinggal di Mary Ward House, di Tavistock Place. Deket tuh sama rumah gw. Tapi petunjuknya adalah rumah ini deket Russel Square. Halah, pusing dah gw. Sempet telfon-telfonan dulu sama Zoe, salah satu kru film yang akan mendokumentasikan Ari ini, sampai akhirnya gw ketemu dengan Mary Ward House. Ternyata gw gak telat-telat amat. Karena beberapa menit setelah gw celingak celinguk di depan rumah itu, Zoe dan Mark datang.

Zoe dan Mark ini adalah kru film dari Firecracker Films, yang mengkhususkan diri pada film-film dokumenter. Mereka udah ngikutin Ari sejak lima bulan lalu, sampe ke Jakarta segala, tempat Ari tinggal di Yayasan Sinar Pelangi. Dokumenter tentang Ari ini nanti akan ditayangkan di Channel Four, bulan September mendatang. Huhuhu, semoga gw masih sempet nonton... Selain soal Ari, juga ada dua orang lagi, satu dari Kamboja dan satu dari Palestina, yang didokumenterkan untuk serial ini.

Naaahh... Firecracker Films ini ternyata PH yang bikin dokumenter "Hunting Emanuelle" yang semalem gw tonton di Channel Four! Idiiihh... keren tuh dokumenter! Tentang film soft-core pertama di tahun 70-an yang dibuat sequel-nya sampe banyak banget plus wawancara sama yang jadi Emanuelle pertama kali. Tooopp...

Hoke, kita kembali ke Ari.

Kenapa mereka difilmkan? Karena mereka semua punya masalah pada wajah mereka, facial disfigurement gitu. Mereka ini ditangani sama lembaga yang namanya Facing the World. Lembaga ini kerjanya emang mengupayakan operasi bagi anak-anak dengan facial disfigurement gitu. Pasien dari Indonesia sejauh ini baru Ari seorang. Naaahh... gini deh tampilan Ari setelah dioperasi beberapa kali...

Sesi pertama adalah syuting di kamarnya Ari. Ceritanya sih dia sambil beres-beres pakean trus ditanya-tanya sama Mark. Dweng dwong, Ari udah kelar ngepak dooong... hahahaha. Jadilah disuruh unpacking dikit sama Mark, trus dimasukin lagi, demi bisa ngambil gambar. Lalu mulai deh sesi tanya jawab yang gw terjemahkan buat Mark dan Ari. Ari-nya sempet grogi gitu. Di beberapa menit pertama dia sibuk aja gitu masuk-masukin baju ke koper tanpa ngomong apa-apa, hihihi..

Abis sesi di kamar kelar, kita menuju salon! Hiyaah, Ari mau potong rambut.. hihihi.. Dia bilang sih potong rambut terakhir itu bulan Januari, jadi sebenernya rambutnya Ari ini belum gondrong-gondrong amat. Ke salon hari ini adalah kali ketiga seumur idup Ari untuk masuk salon, karena biasanya dia potong rambut sama anak-anak yayasan.

Kita dateng ke salon pas salon itu baru buka. Zoe tentunya udah janjian dong sama orang salonnya. Lucunya, si mbak-mbak salonnya gitu yang sibuk sisiran karena dia juga bakal nongol di film, hahaha. Sementara Ari tenang-tenang ngeliat-ngeliat gambar jenis potongan rambut. Dia milih potongan rambut anak jaman geto deh, yang jigrak-jigrak di bagian depan. Mbak-mbaknya sampe berulang kali meyakinkan Ari apa bener mau potongan rambut kayak gitu, karena itu pendek banget. Ari mah yakin ajeh, ya udah, hajar bleh. Liat tuh hasilnya, jigrik-jigrik kan..

Setelah sesi potong rambut kelar, baru deh kita berkejaran dengan waktu. Waktu yang tersisa tinggal 1 jam, tapi mesti ada sesi Ari naik open-bus tour gitu. Jadilah dari salon kita naik taksi menuju Green Park, tempat halte open-bus itu. Idih, mahal juga ya bow naik bis tur gitu, masa £20. Ih, untung gw dibayarin! Padahal gw udah gak ada fungsinya gitu tuh di bis tur, hihihi, karena Mark cuma ngambil gambar Ari doang, sementara gw dan Zoe duduk sebelahan dan ngobrol. Eh jangan-jangan gw belaga gila aja ya ngikut ke bis... huhuhuhu... bodo aaahhh...

Kelar dari tur bis itu, kita ke Chelsea and Westminster Hospital, tempat Ari dirawat dan dioperasi. Mark dan Zoe mau ngambil gambar perpisahan si Ari dengan dokter-dokter dan perawat yang nanganin dia. Lalu kita sempet juga ketemu sama bayi perempuan cantik jelita dari Palestina yang akan jadi pasien berikutnya. Anak ini cantik banget dan yang mau dioperasi adalah bibirnya sumbing. Iiihh, beneran deh ini anak lucu banget. Sekali gw ngacungin jari gw ke genggaman dia yang cilik, gak mau dilepas gitu, hihihi. Tentu saja gw pingin motret dia doong, tapi muka emaknya jutek gitu, gw kan jadi serem...

Di rumah sakit, gw ketemu juga sama bapak tua bernama Pak Wilbert. Gw gatau asal muasal Pak Wilbert ini dari mana, karena kalo gw tanya sama Ari, dia cuma jawab,"Pak Wilbert itu orang Belanda." Udah gitu doang. Tadi sih dia pake topi Unicef ya, ngaruh gak ya? Pak Wilbert ini itungannya interpreter Ari juga deh, karena emang dampingin Ari sejak pertama kali banget nyampe di London. Pak Wilbert ini emang pinter bahasa Indonesia, karena sempet 30 taun tinggal di Indonesia. Idih gile, gw selalu ketemu aja ya bule-bule yang udah puluhan taun di Indonesia...

Sepanjang beberapa jam singkat itu sama Ari, gw gak sempet terlalu banyak ngobrol sama Ari. Karena pindah-pindah tempat, trus bulak balik keluar masuk taksi, jadinya kan ribet gitu kalo mau ngobrol. Yang jelas, dia kangen banget untuk pulang ke Indonesia. Tentunya, dia juga bete sama cuaca London, kikikik.. siapa siy yang gak bete sama cuaca gak jelas geneh...

Pas diwawancara sama Mark dan ditanya soal puas atau enggaknya dia sama hasil operasi, Ari sih bilangnya puas. Tapi setelah ditanya lebih jauh lagi, dia sebetulnya berharap dia bener-bener bisa tampil 'normal', seperti anak-anak lainnya. Soalnya kan hasil operasi itu masih ada 'sisa'-nya gitu lho, meski alis, mata, idung dan bibir Ari udah kembali berada di tempat semula. Gw juga gatau persis apakah operasi kemarin itu tuh bener-bener operasi terakhirnya Ari atau enggak. Ari juga kayaknya sih gatau ya, makanya dia bilang dia berharap dipanggil lagi sama dokter untuk operasi selanjutnya. Duh, semoga bener gitu deh...

Pas di rumah sakit, baru deh gw sempet ngobrol beberapa saat sama Ari. Wesss, ternyata dia selebritis abis gitu. Dia pernah nongol di Indosiar dan TPI serta nongol di koran Lampung Pos gitu (secara Ari tinggal di Lampung gichuw) dan dalam waktu dekat dia bakal nongol di Channel Four.

Gw juga baru sempet nanya-nanya soal penyakitnya Ari itu pas di rumah sakit. Ternyata semuanya bermula dari mata, ada titik putih di matanya gitu. Ternyata itu tumor, terus diangkat lewat operasi di RSCM. Tapi terus ternyata banyak lanjutan dari tumor itu di wajahnya. "Gerenjel-gerenjel gitu, kayak otak," gitu Ari menjelaskan tumornya. Sejak dia umur 7 taun, mulai deh tumbuh tumor itu di wajahnya. Dan di umur 17 taun sekarang ini, baru dia bisa dioperasi dan terbebas dari tumor yang bikin leher pegel itu. Well.. tentunya kita harus bersyukur karena operasinya berjalan lancar dan Ari-nya baik-baik aja.. tapi.. duh, gak tahan juga untuk berharap... andai saja operasinya membuat Ari bener-bener tampil 'normal'...

Ssshh.... ssshhh.. udah! Yang penting Ari sehat. Gitu kan?

Besok, Ari bakal pulang pake flight malam. Huhuhu, coba gw tau dari dulu ya ada Ari yang tinggal di deket rumah gw, pasti kan udah gw ajak jalan sama anak-anak!

Daaahhh Arriiii... sampai ketemu lagi ya!


Read more»

19 April 2006 

Sekelumit Kisah tentang Sebuah Negeri Bernama "Estonia"


Erny Murniasih, University of Birmingham

Estonia -sebuah negara bekas blok Soviet Union- dapat dijadikan sebuah potret 'the winning of the youth'. Setelah menyatakan keluar dari Soviet Union pada tanggal 20 Agustus 1991, Estonia telah berhasil membentuk wajahnya menjadi sebentuk 'gadis' cantik yang siap disunting oleh para jejaka. Sebagai result dari upaya si 'gadis' mematut dirinya, pada tahun 2004 lalu Estonia telah resmi menjadi salah satu anggota European Union dan NATO.

Negara seluas 633 km dengan penduduk sekitar 1,4 juta dan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar -0,64% ini telah mampu bangkit dari keterpurukan akibat kolapsnya Soviet Union. Reformasi di bidang perekonomian dan perdagangan, khususnya, ditekankan kepada modern market economy yang berorientasi pada pasar, terutama pasar Eropa. Penetrasi teknologi dari negara tetangga -seperti Sweden dan Findland- memberikan advantage tersendiri bagi Estonia sehingga memudahkan ruang gerak dalam melakukan inovasi tekhnologi. Saat ini Estonia sudah berhasil mengembangkan berbagai tekhnologi yang cukup dikenal dikalangan per-tekhnologian. Skype, misalnya, adalah salah satu contoh inovasi tekhnologi berasal dari negara yang bermottokan "United We Stand" ini.

Tak terkecuali itu, free movement of labour -seiring dengan accession to EU- memungkinkan perpindahan tenaga kerja Estonia ke negara-negara kawasan Eropa. Hal ini cukup membantu mengurangi tingkat pengangguran di negara tersebut menjadi hanya sebesar 9.2% tahun 2005. Semua ini membuat pertumbuhan ekonomi Estonia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 7.4% pada tahun 2005, bahkan termasuk yang paling tertinggi di antara negara Eropa.

Selain tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan tersebut, ada satu hal cukup menarik perhatian saya selama 7 hari lawatan ke negeri yang terkenal dengan 'Medieval' style nya tersebut, yaitu kebangkitan angkatan muda Estonia di berbagai sektor perekonomian. Terlebih lagi di sektor pemerintahan. Dalam kunjungan saya ke beberapan instansi pemerintahan, betapa tercengangnya saya mendapati orang-orang yang saya kunjungi ternyata seperti 'teman sebaya'.


Ello -salah satu Deputi di Ministry of Economics Affairs- adalah contoh anak muda yang menduduki posisi papan atas di pemerintahan. Ello, yang ternyata salah satu alumi Chevening Scholar tahun 2001, dapat menduduki posisi strategis bersama dengan kawan-kawan muda lainnya. Tugas dan tanggung jawab mereka cukup besar, terlebih lagi saat Estonia sedang menggeliat dan mencari perhatian dari EU dan NATO untuk menyunting negara tersebut. Serangkaian negosiasi harus dilakukan oleh Ello dan kawan-kawannya. Dalam kesempatan informal kami sewaktu dinner di restoran 'Olde Hansa' (restoran ala zaman Medieval), saya sempat bertanya sama Ello apakah ia mengalami kesulitan waktu melakukan negosiasi dengan para 'tetua' yang ada di EU dan NATO. Dan, Ello dengan confidence menjawab bahwa pada awalnya rasa kesulitan tersebut tetap ada karena mereka dianggap sebagai sebuah negara yang belum mature karena di-manage oleh kalangan muda yang terkesan 'minim' pengalaman dalam mengatur negara. Tetapi dengan tekad dan kapasitas yang mereka miliki, mereka bisa memposisikan diri mereka secara sejajar dan profesional. Saya cukup bangga mendengar hal tersebut, karena terbukti bahwa 'anak muda' yang katanya minim pengalaman ternyata bisa memerintah sebuah negara.

Interest saya ngga berhenti sampai disitu. Setelah mengunjungi Ello dan kawan-kawannya, saya mengunjungi rekan-rekan di Ministry of Finance. Begitu saya memasuki ruang rapat, saya disambut oleh petinggi di kementrian finance yang, lagi-lagi, sebaya dengan saya. Klas Klaas, nama si pemberi ceramah buat saya di siang itu. Begitu mendengar dia memperkenalkan nama antiknya tersebut, sejenak saya tertawa kecil karena nama tersebut memiliki kesamaan dengan nama sunda yang cenderung melakukan repetisi, seperti 'ajat sudrajat', hehe.. Anyway, saat dia berceramah mengenai proses accesssion Estonia ke EU yang melalui proses yang cukup panjang dan njlimet, diam-diam saya menuliskan sesuatu dalam notebook saya, "kenapa orang-orang muda ini bisa masuk ke dalam posisi strategis di pemerintahan?"

Sungguh menarik melihat fenomena kebangkitan para pemuda di Estonia. Saya semakin penasaran, apakah ini juga berlaku di private sector. Akhirnya saya melangkahkan kaki ke sebuah enterprise yang merupakan sebuah foundation untuk mengembangkan entrepreneur skala kecil dan menengah. Saya bertemu dengan Sigrid, Direktur Enterprise Estonia, yang menurut saya sangat kompeten dalam memberikan pencerahan kepada saya tentang yayasan ini yang sudah berhasil mengembangkan jiwa kewirausahaan masyarakat Estonia. Sigrid, seorang perempuan usia 35 tahun, dengan cakap dan confidence menjelaskan bahwa mereka saat ini sedang melakukan pendekatan kepada segenap rakyat Estonia untuk bersama-sama mengembangkan perekonomian Estonia. Saya cukup tergelitik saat Sigrid menceritakan sebuah success story sekelompok anak muda Estonia yang kreatif membentuk company yang memproduksi perahu kayak. Dengan bermodalkan kemauan keras dan daya kreativitas, sekelompok anak muda tersebut telah berhasil mengembangkan bisnis mereka sehingga produk mereka sudah diekspor ke manca negara. Usaha-usaha enterpreneurship seperti ini, menurut Sigrid, sangat perlu untuk menggiatkan perekonomian Estonia.

Menilik hikmah dari perjalanan saya ke institusi-institusi tersebut, saya hampir tidak melihat kegagalan yang cukup signifikan. Korupsi, yang menjadi duri dalam daging bagi pengelolaan sebuah negara, rasanya sangat minor. Saat saya mengunjungi sebuah LSM yang bergerak dibidang research economic and development Estonia, saya menemui seorang researcher muda dan ganteng bernama Tarmo Kalvet. Tarmo, yang merupakan jebolan PhD dari UK, mengungkapkan bahwa tingkat korupsi di Estonia sangatlah rendah, bahkan hampir tidak terdengar. Dengan sallary civil servant yang cukup tinggi -bahkan equal dengan private sector- Tarmo bahkan tidak mengungkit masalah korupsi bisa membayangi pengelolaan keuangan di Estonia.

Interesting sekali bukan? Dengan jumlah sallary yang cukup fair serta pemberdayaan angkatan muda di jabatan strategis pemerintahan, tingkat korupsi di Estonia sangatlah minim. Selain itu, peraturan di bidang pengangkatan dan pemberhentian pegawai negeri juga dibuat se-fleksibel mungkin. Sistem rekrutmen civil servant tersebut tidak bersifat 'life time employment' sehingga turnover ke sektor swasta ataupun institusi lain sangat lah memungkinkan bila si PNS tersebut memutuskan ingin keluar dari institusi pemerintahan. Mari, seorang konsultan cantik berusia 36 tahun yang semula serving for the ministry of finance, bertutur bahwa ia sangat beruntung mendapatkan kesempatan berkarir di kementrian finance selama 4 tahun, sehingga saat ia memutuskan ingin menjadi konsultan di EU, ia menjadi lebih confidence. Mari, potret perempuan muda Estonia -yang merupakan salah satu penerima Chevening Scholar untuk tahun 2007- merasa bahwa empowerment terhadap angkatan muda di Estonia telah membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap Estonia dalam melakukan penetrasi kepada pasar Eropa and the rest of the world.

Estonia, yang baru merdeka tahun 1991, telah mencapai GDP per capita sebesar $16,400 di tahun 2005. Hikmah atas keterpurukan Soviet Union seakan memacu negara tersebut untuk terus memoles dirinya untuk menjadi bagian dari 'dunia'. Angkatan muda Estonia yang me-manage negara kecil tersebut terus melakukan inovasi dan reformasi yang tak berujung (begitu kata Tarmo). Yah, kita doakan saja semoga angkatan muda tersebut tidak gamang ditengah godaan globalisasi dan kapitalis yang semakin menggila.


Apakah Indonesia bisa mengikuti jejak Estonia dalam memberikan empowerment terhadap angkatan muda di institusi pemerintahan? Well, doakan saja salah seorang penerima Chevening Scholar ini (saya, red.. hehe) bisa mewujudkan mimpi itu...

Ohya, ada satu hal lagi yang mengingatkan saya pada Indonesia waktu saya di Estonia. Saat saya mengunjungi Tartu, kota kedua terbesar setelah Tallin, saya menyempatkan diri mengunjungi proyek-proyek yang dibiayai dari EU fund, yaitu antara lain proyek pembangunan Museum Toys. Begitu saya menyusuri koridor lantai 2 yang menampilkan koleksi mainan dari berbagai negara, saya terhenyak begitu melihat 'wayang kulit' dan 'wayang golek' juga menjadi salah satu bagian dari koleksi mereka. Tak terkecuali itu, sebuah boneka dari Papua ikut menjadi bagian dari koleksi mereka... Wah, saya cukup surprais menyaksikan pemandangan itu. Wayang kulit -yang udah out of date- ternyata cukup dihargai di negeri kawasan NORDIC tersebut. Hebat lah Indonesia...


(1-7 April, 2006)



Read more»

12 April 2006 

Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (1):

“Anak Petani yang Ingin Sekolah Tinggi”

Asnawi Abdullah, London

Masih teringat dengan jelas pesan orang tuaku, waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Katanya, “Kalau mau ubah nasib, Nak, kamu harus sekolah yang tinggi. Kalau tidak, yah, kamu akan jadi petani seperti bapakmu ini nantinya."

Saya kira, tidak ada hal yang istimewa dengan kata-kata itu bagi kebanyakan orang, namun bagi saya hal itu cukup mengusik pikiran. Artinya, kalau saya tidak sekolah sampai ke perguruan tinggi, nasib saya tidak akan berubah: akan jadi petani meneruskan profesi leluhur, banting tulang di tengah sawah di bawah sengatan matahari dan cucuran keringat dengan hasil panen tidak seberapa bila dihitung dengan cost dan pengorbanan yang harus dikeluarkan.

Berminggu-minggu kata-kata tersebut tidak hilang dalam benak.’Sekolah yang tinggi’, ‘perguruan tinggi’, ‘jadi petani’, ‘ubah nasib’, itulah beberapa ‘keywords’ yang terus menghantuiku saat itu. Beberapa deretan pertanyaan lain juga bermunculan, berdialog dengan jiwa sendiri terjadi begitu sering. “OK, OK, siapa sih yang nggak mau mengubah nasib, siapa yang mau jadi petani terus, siapa yang nggak mau sekolah sampai ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana caranya? Apakah punya duit untuk menyekolahkan aku?” Kalau dihitung dari hasil panen selama ini, ditambah job sampingan orang tuaku lainnya, paling banter aku hanya mampu bersekolah sampai SMA, tidak lebih dari itu!

Banyak bukti sudah. Selama ini yang tamat dari SMA saja (di kampungku nun jauh di Aceh) bisa dihitung dengan jari, apalagi tamatan perguruan tinggi. “Kalau hanya tamatan SMA, lebih baik tidak sekolah saja,” keluh aku pada waktu itu. Bagiku, itu hanya menambah citra negatif tentang anak sekolah: tiga tahun umur habis di SMP dan tiga tahun lagi habis di SMA, paling bisa cuma …, dan tidak ada skill khusus yang membuat berbeda dengan anak yang tidak sekolah. Sangat kontras, kalau enam tahun dihabiskan di pesantren, perubahannya begitu nyata. Mereka mampu jadi imam, memberi khotbah, membaca kitab-kitab berbahasa Arab “gundul”, menguasai tata bahasa Arab dengan baik dan mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan begitu baik...

Memang, kampungku pada saat itu punya tradisi pesantren yang kuat. Secara rata-rata, anak-anak cerdas kebanggaan dan kesayangan orang tua dikirim ke pesantren, menuntut ilmu akhirat. Sangat jarang yang dikirim ke sekolah. Pada saat itu belum ada satupun “tukang insinyur”. Sekolah bagi sebagian orang itu tidak hanya identik dengan keduniawian dan dunia sekular, tapi juga identik dengan duit dan mahal. Tidak banyak orang tua yang sanggup menyekolahkan anaknya.

Pada suatu pagi, aku memutuskan dan berikrar, bahwa pada suatu hari aku akan meninggalkan sawah-sawah kebanggaan orang tuaku ini, meninggalkan kampung, tidak untuk ke pesantren, namun mencari sekolah terbaik. Badan aku tidak begitu kuat, untuk terus menggarap sawah yang semakin hari semakin menyempit dengan pembukaan ladang-ladang minyak oleh ExxonMobil.

Kemudian, beberapa strategi aku buat. Pertama, tidak ada pilihan lain, belajar yang rajin, jadi juara, dan yakinkan orang tua dan keluarga besarku bahwa aku ini lebih cocok ke sekolah daripada ke pesantren. Alhamdulillah, dengan izin Allah, aku lulus juara satu dari SD. Hasil ini, aku jadikan alat tawar menawar dengan Ibuku, agar beliau mengurunkan niatnya untuk mengirimkan aku ke pesantren. Dengan bantuan bapakku, mama mengizinkan aku melanjutkan ke SMP, dengan catatan, malam hari harus mengaji dan setelah tamat SMP pergi ke pesantren. Aku setuju dengan persyaratan itu. Namun dalam hati kecilku, mudah-mudahan Allah membantu aku agar bisa sampai ke SMA.

Di SMP, semangat belajar aku cukup tinggi, rangking satu dari kelas 1 sampai kelas 3 dan akhirnya aku bisa lulus dengan NEM tertinggi waktu itu. Dengan modal NEM tertinggi, sebenarnya aku punya kebebasan untuk memilih SMA terbaik, namun sayang pada saat itu, sistem Rayon diterapkan. Hanya SMA dalam satu rayon yang diperkenankan untuk dimasuki. Kalau mau sekolah di luar rayon, kami harus mempunyai surat izin khusus dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Berdasarkan sistem rayonisasi, aku hanya diperkenankan sekolah di SMA Negeri 1 Lhoksukon. Sementara, aku ingin sekolah di SMA Negeri I di Lhokseumawe. Secara diam-diam, tanpa memberitahu orang tuaku, pagi itu aku ke Lhoksumawe. Sampai di sana, aku terkejut karena beberapa teman SMPku sudah duluan di sana, mereka semuanya mengantongi surat sakti bebas rayonisasi dan itu berarti mereka punya peluang besar untuk sekolah di SMA Negeri I Lhokseumawe. Lima orang dari mereka mendaftar di Loket 1, sementara aku memilih loket yang paling sepi, di loket 5. Begitu map pendaftaran aku serahkan, si petugas melihat satu persatu berkasku dan dia bolak balik mencari surat bebas rayon. Sementara aku hanya diam sambil menbaca berdoa dalam hati “Ya Allah mudahkanlah urusan hambamu ini” dan akhirnya, Alhamdulillah, dia tidak mempersoalkan mengenai surat bebas rayon. Dengan perasaan lega aku pergi dari loket 5 tersebut.

Seminggu berikutnya, pengumuman kelulusan ditempel dan sangat mengejutkan, yang diterima hanya dua orang termasuk aku. Empat teman yang lain, menanyakan berapa aku bayar petugas sehingga aku tidak dimintai Surat Bebas Rayon dan bisa lulus. Waduh! Aku cuma bilang, “Ini semuanya kehendak Allah, mungkin Allah yang berkendak aku sekolah di sini.” Tentu, mereka tidak bisa menerima alasan aku begitu saja. Dalam hati kecilku, terserah saja (apa kata mereka), yang penting aku sudah diterima di SMA 1 Lhokseumawe. Tugas penting aku berikutnya adalah bagaimana menyakinkan orang tua agar aku lulus ke babak berikutnya : agar diberi izin untuk melanjutkan sekolah…!

Berikutnya : “Bersekolah di Lhokseumawe”


Read more»

10 April 2006 

How to improve your English

Martin Manurung, Norwich

University of East Anglia
's international students office recently asked to share our experience in improving our English.

There are many ways to improve your English. I am going to share some of them, which I found simple and you can do it in your daily life.

First, enjoy your life. Learning a language must be active, not passive. Make friends, go to parties whenever you can and push yourself to talk. Many international students only mingle with their own nationalities. For sure, this is not a good way to make your English better. Make more friends who do not speak your mother tongue and you do not speak their mother tongue too. Therefore, the only way to communicate with them is by using English.

Second, do speak! Since English is not your mother tongue, don’t be afraid of making mistakes. Mind that native speakers do make mistakes too, so why should you be worried? In fact, mistakes are useful so you can learn from them.

Third, stop translating. Many non English native speakers do translation when they speak or write. In my opinion, this is not a good way to learn a language. The reason is because your language system might be very different with English. When you can speak spontaneously, or even when you can dream in English, it means you are beginning to grasp the language into your unconsciousness.


Read more»

09 April 2006 

Not In My Backyard

Deddy Sitorus, London

Bulan Desember yang lalu BBC mengangkat kasus ekspor sampah dari Inggris ke Indonesia. Sampah tersebut, sekitar tujuh kontainer dikirimkan sebelum melalui proses recycle yang seharusnya. Sampah tersebut berasal dari daerah Islington, di pusat kota London yang terkenal karena di daerah tersebut (Highbury) berdiri stadion kebanggaan klub Arsenal. Sampah-sampah tersebut seharusnya di recycle oleh perusahaan di Inggris tetapi terdampar jauh sampai ke Jakarta. Para penduduk Islington membayar pajak cukup tinggi dalam bentuk council tax agar sampah-sampah tersebut di recycle. Namun yang terjadi adalah perusahaan pengelola sampah itu mengirimnya langsung ke Indonesia.

Mengelola sampah dengan recycle memang butuh biaya dan kapasitas pengelolaan samapah di London ternyata kesulitan mengatasi perilaku over consumption warga. Secara hukum sampah itu tidak bisa dikirim sebelum diolah tetapi ternyata paradigma "not in my backyard" yang kental di tahun 80-an masih kental mewarnai corak berpikir para pengusaha itu. Dari segi biaya memang lebih murah dan dari segi proses lebih efisien untuk memasukkan sampah tersebut ke dalam kontainer dan mengirimnya ke negara dunia ketiga. Ini perilaku yang berbahaya. Paradigma not in my backyard ini berprinsip bahwa sampah-sampah itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Padahal faktanya tidak tepat seperti itu sebab dunia ini ibaratnya satu kampung kecil dimana kerusakan lingkungan di satu negara pasti akan berdampak global dalan jangka pendek maupun panjang. Lihat saja kasus pemanasan global yang mempengaruhi bumi secara global. Lihat pula laju deforestrasi di Indonesia dan Brazil yang menyumbang terhadap abnormalitas iklim secara global.

Dari segi etis juga tindakan ekspor sampah beracun in sangat berbahaya bagi negara penerima. Dalam hal ini Indonesia yang penegakan hukumnya masih lemah sangat rentan terhadap kegiatan ilegal semacam ini. Indonesia tidak punya kapasitas mengelola sampah dengan baik dan masih sibuk berjuang mengatasi masalah sampah domestik khususnya di kota-kota besar. Lihat saja bagaimana kasus TPA Bojong masih terus menjadi masalah berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini. Mengirimkan sampah ke negara seperti Indonesia adalah tindakan amoral karena sampah ini akan berakhir di daerah berpenduduk miskin. Penduduk miskin ini rentan karena akses mereka terhadap informasi dan sarana pelayanan kesehatan sangat rendah.

Kita tidak tahu apakah ini sebuah kasus yang acak atau merupakan puncak gunung es dari masalah sampah dunia yang diakibatkan pola excessive consumption. Kita harus memastikan aktivitas ilegal dan amoral ini dihentikan atau kita dan generasi yang akan datang hidup dalam bahaya. Kita tidak tahu dimana sampah itu dibuang, apakah di tengah laut atau di hutan atau di sungai atau di wilayah pemukiman di luar kota. Yang jelas suatu saat kita harus membayar mahal dengan kualitas limgkungan dan kualitas hidup yang terdegradasi.

Kita harus mengetok kesadaran penduduk di Inggris dan negara maju lainnya untuk menekan pemerintah dan perusahaan mereka agar menghentikan praktek berbahaya ini!


Read more»

 

Sukseskah desentralisasi di Indonesia?

Erni Murniasih, Birmingham

Banyak orang yang meragukan akan keberhasilan desentralisasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000. Awalnya, proses menuju ke arah desentralisasi dilalui dengan sangat tergesa-gesa. Maklum, saat itu Habibie sedang dituntut performance-nya untuk menjadi calon presiden yang handal. Walaupun saat itu Habibie sudah menjadi presiden, tapi banyak rakyat menganggap itu hanyalah sebagai 'by coincidence' belaka. Maka, dengan kondisi yang menuntut adanya reformasi di segala bidang, jadilah kedua undang-undang yang menopang pelaksanaan desentralisasi ditetapkan. Kondisi itu juga diperparah dengan 'arahan' dari lembaga donor internasional yang sangat menggembar-gemborkan implementasi desentralisasi di negara berkembang -dan Indonesia menjadi salah satu sasarannya.

Saat ini sudah memasuki tahun keenam pelaksanaan desentralisasi. Dan, kedua undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Habibie telah diamandemen pada tahun 2004. Banyak alasan yang mendorong kenapa pemerintah memutuskan untuk mengamandemen undang-undang tersebut. Salah satu motif utama adalah semakin timbulnya kesenjangan atau inequality yang cukup tajam antar daerah. Selain itu, anekdot yang cukup nge-trend tentang definisi desentralisasi versi Indonesia adalah transfer of corruption from central to local government, atau kalau diterjemahkan secara bebas; berpindahnya korupsi yang semula berada di tingkat pusat menjadi korupsi di tingkat daerah.

Sebenarnya apa yang salah dengan desentalisasi di Indonesia? Apakah pada sistemnya? Sudah oke, karena seperti tadi yang saya sebutkan dimuka, dorongan desentralisasi di Indonesia salah satunya adalah tuntutan dari negara donor yang memang sedang menggiatkan kampanye 'desentralisasi' ini ke negara-negara berkembang. Oleh karenanya, sistem desentralisasi -baik itu dari segi penyerahan kewenangan, penyerahan keuangan, maupun perangkat yang lainnya- yang di-established di Indonesia, sudah sesuai dengan path yang ada di negara-negara berkembang. Lalu kenapa gaung desentralisasi sepertinya kurang mendapat tempat di hati sebagian orang? Apakah itu berarti pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah gagal?

Saya sebenernya cukup optimis dengan sistem yang sekarang sedang diusahakan oleh Pemerintah, walau tidak bisa dibilang sebagai sistem yang ideal. Dari beberapa segi, Pemerintah telah berhasil mentransfer informasi kepada publik. Dan itu saya pikir merupakan sebuah terobosan yang baik dalam sebuah proses pembangunan. Proses komunikasi yang harmonis dan sinergis antara masyarakat dan pemerintah merupakan sebuah tonggak utama keberhasilan sebuah pelaksanaan demokrasi - yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk desentralisasi tadi.

Namun kalau boleh kita ambil salah satu contoh dari negara di Afrika, Uganda-misalnya, dorongan untuk desentralisasi bukan datang dari negara donor atau faktor eksternal, tapi dari komitmen internal -politisi, masyarakat, dan pemerintah- yang berkeinginan kuat untuk membangun sebuah rumah demokrasi yang dikokohi dengan desentralisasi. Bayangkan, negara seperti Uganda dapat hand-in-hand together dalam mengimplementasikan 'public choice theory' seperti yang diproposed oleh James Buchanan. Lantas, mengapa negara Indonesia tidak bisa seperti itu ya? Kenapa Indonesia harus dipecut dulu oleh negara donor? Sedih yach.. Mungkin itu salah satu alasan bagi yang pesimis-desentralisasi yang memandang desentralisasi di Indonesia telah gagal (walau saya masih berusaha untuk optimis nich..)

Tapi, dari sekian banyaknya hasil studi tentang desentralisasi di Indonesia dan umumnya di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan maupun peningkatan partisipasi masyarakat masih belum jelas. Tidak kurang dari ekspatriat dibidang desentralisasi seperti Paul Smoke, Roy Bahl, Anwar Shah, Jorge-Martinez dan kawan-kawannya itu mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara desentralisasi terhadap indikator yang tadi saya sebutkan diatas. Namun tidak kalah juga studi yang dilakukan oleh Kwan, Ziang, dan yang lainnya mengatakan bahwa justru yang terjadi adalah korelasi negatif. Nah lho.. bagaimana ini? Apakah ide desentralisasi yang digembar-gemborkan oleh lembaga donor itu sebenernya hanya jargon saja? Hmm.. kalo si Mandra ditanya, mungkin jawabannya 'Au ah elap'.. hehe..

Tentu butuh banyak studi lagi tentang itu. Terutama tentang bagaimana impact-nya di Indonesia. Wah, untuk mendapatkan resultnya, tunggu hasil disertasi saya yach.. nanti saya posting lagi.. hehe.. sekarang ini saya hanya baru mendapatkan segitu aja, dan yach.. apa salahnya di-shared (ya ngga??).

Jadi.. seberapa sukses desentralisasi di Indonesia? Mungkin jawaban yang terlintas pada saat ini adalah kita bisa mengukurnya dengan income distribution antar daerah, bagaimana tingkat pendidikan -apakah sudah menjangkau sampai ke pelosok tanah air atau tidak, apakah dareah terpencil sudah bisa merasakan nikmatnya listrik dan air bersih, atau apakah kesehatan sudah menjangkau rata ke seluruh pelosok tanah air. Karena inti dari desentralisasi adalah 'internalising cost and benefit' untuk rakyat.. So, bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya, itulah esensi yang terpenting dari sebuah jargon 'desentralisasi'.


Read more»

08 April 2006 

Déjà vu

Martin Manurung, Norwich

There is a growing concern that foreign investment in Indonesia is flying out to other more ‘attractive’ countries, such as Vietnam and China. Cheap labour and labour market 'rigidity', according to the pro-market economists, are the very reason of why investment is shifting away from Indonesia. The proposal is, of course, obvious: liberalisation of labour market.

“[The] progress [of economic reform] has been slower than expected in other areas, including resolving investor disputes and improving labor market flexibility… [The IMF Board of] Directors underscored the critical importance of structural reforms to help boost investor confidence… In this context, they welcomed the authorities' emphasis on tax and labor market reforms …” (The IMF, 2006. Emphases added.)

Somehow, this issue is like a déjà vu for me. If we look at the history of Indonesia’s industrialisation, the concern is not new. Liberalisation as a solution, although in a different context, was also put forward by pro-market economists (including the IMF) in 1994. JB. Sumarlin, the then minister of finance, introduced tight monetary policy aimed at reducing money supply due to an increase in aggregate demand. ‘Sumarlin shock’, that is how the policy was called.

The pro-market scholars argued that the policy was threatening foreign investors’ confidence and that might lead to shifts of foreign investment to China and Vietnam, whose markets were emerging in the late 1990s. Indonesia needed to relax the limitations on capital flows to keep its market attractive, they said.

What happened next? The government bought the argument and liberalised the capital flow. It then led to huge capital inflow and made foreign capital relatively much cheaper than domestic capital. Indeed, Indonesia’s economy then enjoyed an economic boom for a while until the Asian currency crisis emerged and started in Thailand in early 1997. The currency crisis soon affected Indonesia. ‘Contagious effects’, they called it.

We all know the rest of the story. Indonesia’s economy became vulnerable to external shocks because more than 90% of the capital inflows were short term capital. The cheaper foreign capital also led to foreign short term debt surge. When Indonesia’s currency dramatically dropped, it made the country’s industry suddenly fell into a debt crisis. Furthermore, the IMF also imposed Indonesia to increase domestic interest rates from 20% to 80% to reduce speculative attacks against the currency. However, it also made Indonesia’s domestic debts became insolvent and led to massive bankruptcy. The industry then reduced its production, massively dismissed their labour in the name of efficiency, and it further brought stagnation in the midst of an excess demand. The spiral of inflation because of supply push inflation and demand pull inflation was inevitable.

That was the cost of liberalisation. Now, after the flawed prescriptions, do you still follow the same doctor?


Read more»

07 April 2006 

How do loyalty, group power work in jihadists circles?

Noor Huda Ismail, Brussels
The Jakarta Post, 7 April 2006

Have you ever wondered how loyalty among jihadists gets started? Usually, we think of them as a product of a highly contagious ideology. But the stretch of their loyalty has a lot to do with the skillful use of group power.

The idea is simple. If you want to bring about fundamental change in people's beliefs and behavior, a change that would endure and provide an example to others, you needed to form a group around you, where your beliefs can be practiced and articulated and nurtured.

This helps to explain why jihadists are required to attend regular meetings, say weekly or monthly, and to adhere to a strict code of conduct. If they fail to live up to the group's standards, they are reminded of these standards and even punished.
But what are the most effective groups that can bring about carnage?

The answer might lie in the arrests by the Indonesian police in mid-2003 of the first Bali bombers. Fifteen jihadists were directly related to the attacks, another 35 were guilty of harboring fugitives or withholding information, and another 30 possessed explosives or firearms.

In my reading, there are characteristics that distinguish each arrest. Those 15 jihadists who were directly related to the attack show us the fact that the group was aware that for a deadly operation, they had to keep themselves to a smaller group of people.

So they were close knit, which was very important for a successful operation. Imagine if the group got too large, then they would not be able to share things in common and they would start to become strangers. The operation would not work because they could not maintain the loyalty of each member.

In small groups, everybody knows each other and each person has a clear job distribution. As a result, most of the attacks, such as the JW Marriott Hotel, the Australian Embassy and the last year's Bali bombings, were carried out by a small group of hard-core loyalists.

National Police chief Gen. Sutanto said that Noordin and his followers remained hard to catch because they were "highly mobile and because they had a small team", allowing them to easily elude arrest.

While the other 35 who were guilty of harboring fugitives or withholding information in the first Bali blast may not have necessarily agreed with the attack, they shared some degree of loyalty to the group.

An example of this category is the grandson of Achmad Dahlan, the founder of Muhammadiyah, Achmad Roichan, alias Saad, who was arrested in April 2003 for withholding information on the whereabouts of Bali bomber Mukhlas.

Roichan is slender and composed. He talks slowly, with a slight Javanese accent. He has a kind of wry, ironic charm that is utterly winning. In my interviews with him in a Jakarta prison last year, he said he openly disagreed with the motive behind the Bali blasts. But he had fought with Mukhlas in Afghanistan from 1985 to 1988, and that created loyalty to the group.

Next on the list would be Herlambang, alias Subai, a 33-year-old Javanese who was arrested in December 2002 for harboring Bali bombers Sawad, Imam Samudra and Abdul Ghoni after the attack.

He is now in Krobokan Prison in Bali serving a six-year term. He was not directly involved in the attack and may have disagreed with it. But loyalty to the group triggered him to provide sanctuary for the bombers.

Psychologists here in Brussels tell us much about this phenomenon: When people are asked to consider evidence and make decisions in a group, they come to very different conclusions than when they are asked the same questions alone. Once we are part of a group, we are all susceptible to peer pressure and social norms.

"Peer pressure is much more powerful than a concept of boss. Many, many times more powerful. People want to live up to what is expected of them," these psychologists explain.

Historically, loyalty between members of regional terrorist group Jamaah Islamiyah seems to have been assumed within the group and has adjusted to internal needs, external shocks and demographic changes.

For that reason, many who are familiar with the group's workings were not surprised to learn that Abu Dujana has become the reported current leader of JI. According to Petrus Reinhard Golose of Indonesia's counterterrorism task force, Abu Dujana is "the guy who leads and has good relations with al-Qaeda and is trusted".

Abu Dujana, who is originally from a stronghold of Darul Islam in West Java, has proved his unquestionable loyalty to the group. He fought in Afghanistan together with Hambali. He shared his skills as a military trainer in the group's camp in Mindanao and allegedly worked closely with Abu Rusdan, a senior member of the group, before Rusdan's arrest.

As a secretary for Rusdan, Dujana was deeply involved with the group, getting reports from members and arranging meetings.

As for the international community, the real challenge is not merely to counter specific terrorist groups, but to always anticipate those individuals who might join a terror campaign because of an imagined connection with other people's struggles.
These "emotional" connections represent one obscure but real and lasting legacy of events such as the current ethnic-religious insurgency in southern Thailand, the unfinished Moro movement in the Philippines, the ongoing Palestinian struggle in the Middle East and obviously the war in Iraq that has drastically boosted terrorism, instead of lessening it.

The writer earned a British Chevening scholarship and is now in the postgraduate program in International Security Studies at St. Andrews University. He can be reached at noorhudaismail@yahoo.com.


Read more»

04 April 2006 

Questioning Australian asylum granting policy

By Yasmi Adriansyah, Oxford
The Jakarta Post, 4 April 2006

The granting of Temporary Protection visas by the Australian authorities to 42 Indonesians from Papua Province has caused diplomatic problems between thetwo countries. Indonesia has called its envoy home while waiting for aconvincing explanation and further reaction from the Australian Government. Diplomaticties between the two have plummeted, instead of peaking as they should haveafter a recent official visit by Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyonoto Australia.

Indonesia's position is clear -- Australia should not have granted any visassince the Papuans were not under threat or facing political abuse. Furthermore, Indonesia knows that Australia officially recognizes Indonesia'sintegrityand does not support the Papuan separatists. Hence, granting visas to Papuansis considered a double standard, a game played by Australia, as the fleeingfigures often claim human rights violations in the easternmost province ofIndonesia.

Since the ball is now in Australia's hands, let us now ask Australia why thispolicy took place.

Australia's statement that its asylum policy is independent is its right.Because of this, Australia should be able to convince Indonesia of the legalbasis of the policy's principles. If Australia fails to provide a legal explanation of the policy, it is logical for Indonesia to consider Australia ashaving avested interest in Papua.

Based on this reason, Australia should be very careful in stating the explanation since Indonesians are not people without knowledge. Indonesiansmightalso have questioned how a policy of one government body could be independentfrom the Federal Government.

There is no doubt that Indonesia should respect Australia's claim that thegranting of the visas to the Papuans was in accordance with the country's legislation and international law. It is commonly understood in internationalrelations that national jurisdiction and international law are put in highesteem.Again, it is the right of Australia to conduct any policy it wishes to.Nevertheless, the policy on seeking asylum within Australia should beconducted consistently in order not to be regarded as having a hidden agenda.

Human Rights Watch (HRW), a non-governmental organization, has released areport titled By Invitation Only: Australian Asylum Policy. In this report, HRWwrites that Australia has been using a double standard in its treatment towardasylum seekers by accepting some "preferred" asylum seekers while at the sametime rejecting others.

Why did the Australian authorities move so quickly to grant the Papuans visas? This question is legitimate since there is no coherence between thepreviouspolicy (in rejecting the asylum seekers) and the current one. Even thoughIndonesian President Yudhoyono had told Prime Minister John Howard that thePapuans were not suffering political abuse and requested Howard send them backtoIndonesia, Australia chose to move backward by granting the visas.

As one of its closest neighbors and friends, Australia definitely knows howsensitive this issue is for Indonesia. The top priority on Indonesia's agenda is national integrity. The tragedy of East Timor was very bitter for Indonesia and it has been trying hard not to repeat its miserable history. Therefore, any attempts to upset national integrity will heavily counteracted by the Government.

Australia keeps saying that it supports Indonesian national integrity. Sadly, by granting visas to the Papuans, Australia has already given fuel to theseparatist movement which Indonesia for years has been trying to control. That Indonesia feels betrayed by Australia is understandable.

Indonesia has shown its clear and strong position against Australia's behavior. By recalling its envoy, Indonesia has given a signal that it is even willing to sacrifice good relations with its neighbor for the sake of national integrity.

Australia could buy time and hope Indonesia's anger will ease later. Nevertheless, since Indonesia is very firm in its position, the quiet reaction ofAustralia might not help at all. As long as there is no change of its policytoward the Papuans, it is very unlikely Indonesia will consider recovering itstieswith Australia. In other words, diplomatic relations between the two countries at the currenttime depend on Australia. Indonesia has made its opinion of the matter clear. The choice to make relations better or worse rests, at this point, with theother side.

Quo vadis, Australia?


Read more»

About us

Quote of the Day

Syndication & Statistic

    Syndicate this site (XML)

    Subscribe to Brainstorm

    Add to Google

    Blogger Templates

    eXTReMe Tracker