« Home | Déjà vu » | How do loyalty, group power work in jihadists circ... » | Questioning Australian asylum granting policy » 

09 April 2006 

Sukseskah desentralisasi di Indonesia?

Erni Murniasih, Birmingham

Banyak orang yang meragukan akan keberhasilan desentralisasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000. Awalnya, proses menuju ke arah desentralisasi dilalui dengan sangat tergesa-gesa. Maklum, saat itu Habibie sedang dituntut performance-nya untuk menjadi calon presiden yang handal. Walaupun saat itu Habibie sudah menjadi presiden, tapi banyak rakyat menganggap itu hanyalah sebagai 'by coincidence' belaka. Maka, dengan kondisi yang menuntut adanya reformasi di segala bidang, jadilah kedua undang-undang yang menopang pelaksanaan desentralisasi ditetapkan. Kondisi itu juga diperparah dengan 'arahan' dari lembaga donor internasional yang sangat menggembar-gemborkan implementasi desentralisasi di negara berkembang -dan Indonesia menjadi salah satu sasarannya.

Saat ini sudah memasuki tahun keenam pelaksanaan desentralisasi. Dan, kedua undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Habibie telah diamandemen pada tahun 2004. Banyak alasan yang mendorong kenapa pemerintah memutuskan untuk mengamandemen undang-undang tersebut. Salah satu motif utama adalah semakin timbulnya kesenjangan atau inequality yang cukup tajam antar daerah. Selain itu, anekdot yang cukup nge-trend tentang definisi desentralisasi versi Indonesia adalah transfer of corruption from central to local government, atau kalau diterjemahkan secara bebas; berpindahnya korupsi yang semula berada di tingkat pusat menjadi korupsi di tingkat daerah.

Sebenarnya apa yang salah dengan desentalisasi di Indonesia? Apakah pada sistemnya? Sudah oke, karena seperti tadi yang saya sebutkan dimuka, dorongan desentralisasi di Indonesia salah satunya adalah tuntutan dari negara donor yang memang sedang menggiatkan kampanye 'desentralisasi' ini ke negara-negara berkembang. Oleh karenanya, sistem desentralisasi -baik itu dari segi penyerahan kewenangan, penyerahan keuangan, maupun perangkat yang lainnya- yang di-established di Indonesia, sudah sesuai dengan path yang ada di negara-negara berkembang. Lalu kenapa gaung desentralisasi sepertinya kurang mendapat tempat di hati sebagian orang? Apakah itu berarti pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah gagal?

Saya sebenernya cukup optimis dengan sistem yang sekarang sedang diusahakan oleh Pemerintah, walau tidak bisa dibilang sebagai sistem yang ideal. Dari beberapa segi, Pemerintah telah berhasil mentransfer informasi kepada publik. Dan itu saya pikir merupakan sebuah terobosan yang baik dalam sebuah proses pembangunan. Proses komunikasi yang harmonis dan sinergis antara masyarakat dan pemerintah merupakan sebuah tonggak utama keberhasilan sebuah pelaksanaan demokrasi - yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk desentralisasi tadi.

Namun kalau boleh kita ambil salah satu contoh dari negara di Afrika, Uganda-misalnya, dorongan untuk desentralisasi bukan datang dari negara donor atau faktor eksternal, tapi dari komitmen internal -politisi, masyarakat, dan pemerintah- yang berkeinginan kuat untuk membangun sebuah rumah demokrasi yang dikokohi dengan desentralisasi. Bayangkan, negara seperti Uganda dapat hand-in-hand together dalam mengimplementasikan 'public choice theory' seperti yang diproposed oleh James Buchanan. Lantas, mengapa negara Indonesia tidak bisa seperti itu ya? Kenapa Indonesia harus dipecut dulu oleh negara donor? Sedih yach.. Mungkin itu salah satu alasan bagi yang pesimis-desentralisasi yang memandang desentralisasi di Indonesia telah gagal (walau saya masih berusaha untuk optimis nich..)

Tapi, dari sekian banyaknya hasil studi tentang desentralisasi di Indonesia dan umumnya di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan maupun peningkatan partisipasi masyarakat masih belum jelas. Tidak kurang dari ekspatriat dibidang desentralisasi seperti Paul Smoke, Roy Bahl, Anwar Shah, Jorge-Martinez dan kawan-kawannya itu mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara desentralisasi terhadap indikator yang tadi saya sebutkan diatas. Namun tidak kalah juga studi yang dilakukan oleh Kwan, Ziang, dan yang lainnya mengatakan bahwa justru yang terjadi adalah korelasi negatif. Nah lho.. bagaimana ini? Apakah ide desentralisasi yang digembar-gemborkan oleh lembaga donor itu sebenernya hanya jargon saja? Hmm.. kalo si Mandra ditanya, mungkin jawabannya 'Au ah elap'.. hehe..

Tentu butuh banyak studi lagi tentang itu. Terutama tentang bagaimana impact-nya di Indonesia. Wah, untuk mendapatkan resultnya, tunggu hasil disertasi saya yach.. nanti saya posting lagi.. hehe.. sekarang ini saya hanya baru mendapatkan segitu aja, dan yach.. apa salahnya di-shared (ya ngga??).

Jadi.. seberapa sukses desentralisasi di Indonesia? Mungkin jawaban yang terlintas pada saat ini adalah kita bisa mengukurnya dengan income distribution antar daerah, bagaimana tingkat pendidikan -apakah sudah menjangkau sampai ke pelosok tanah air atau tidak, apakah dareah terpencil sudah bisa merasakan nikmatnya listrik dan air bersih, atau apakah kesehatan sudah menjangkau rata ke seluruh pelosok tanah air. Karena inti dari desentralisasi adalah 'internalising cost and benefit' untuk rakyat.. So, bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya, itulah esensi yang terpenting dari sebuah jargon 'desentralisasi'.

About us

Quote of the Day

Syndication & Statistic

    Syndicate this site (XML)

    Subscribe to Brainstorm

    Add to Google

    Blogger Templates

    eXTReMe Tracker