Not In My Backyard
Deddy Sitorus, London
Bulan Desember yang lalu BBC mengangkat kasus ekspor sampah dari Inggris ke Indonesia. Sampah tersebut, sekitar tujuh kontainer dikirimkan sebelum melalui proses recycle yang seharusnya. Sampah tersebut berasal dari daerah Islington, di pusat kota London yang terkenal karena di daerah tersebut (Highbury) berdiri stadion kebanggaan klub Arsenal. Sampah-sampah tersebut seharusnya di recycle oleh perusahaan di Inggris tetapi terdampar jauh sampai ke Jakarta. Para penduduk Islington membayar pajak cukup tinggi dalam bentuk council tax agar sampah-sampah tersebut di recycle. Namun yang terjadi adalah perusahaan pengelola sampah itu mengirimnya langsung ke Indonesia.
Mengelola sampah dengan recycle memang butuh biaya dan kapasitas pengelolaan samapah di London ternyata kesulitan mengatasi perilaku over consumption warga. Secara hukum sampah itu tidak bisa dikirim sebelum diolah tetapi ternyata paradigma "not in my backyard" yang kental di tahun 80-an masih kental mewarnai corak berpikir para pengusaha itu. Dari segi biaya memang lebih murah dan dari segi proses lebih efisien untuk memasukkan sampah tersebut ke dalam kontainer dan mengirimnya ke negara dunia ketiga. Ini perilaku yang berbahaya. Paradigma not in my backyard ini berprinsip bahwa sampah-sampah itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Padahal faktanya tidak tepat seperti itu sebab dunia ini ibaratnya satu kampung kecil dimana kerusakan lingkungan di satu negara pasti akan berdampak global dalan jangka pendek maupun panjang. Lihat saja kasus pemanasan global yang mempengaruhi bumi secara global. Lihat pula laju deforestrasi di Indonesia dan Brazil yang menyumbang terhadap abnormalitas iklim secara global.
Dari segi etis juga tindakan ekspor sampah beracun in sangat berbahaya bagi negara penerima. Dalam hal ini Indonesia yang penegakan hukumnya masih lemah sangat rentan terhadap kegiatan ilegal semacam ini. Indonesia tidak punya kapasitas mengelola sampah dengan baik dan masih sibuk berjuang mengatasi masalah sampah domestik khususnya di kota-kota besar. Lihat saja bagaimana kasus TPA Bojong masih terus menjadi masalah berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini. Mengirimkan sampah ke negara seperti Indonesia adalah tindakan amoral karena sampah ini akan berakhir di daerah berpenduduk miskin. Penduduk miskin ini rentan karena akses mereka terhadap informasi dan sarana pelayanan kesehatan sangat rendah.
Kita tidak tahu apakah ini sebuah kasus yang acak atau merupakan puncak gunung es dari masalah sampah dunia yang diakibatkan pola excessive consumption. Kita harus memastikan aktivitas ilegal dan amoral ini dihentikan atau kita dan generasi yang akan datang hidup dalam bahaya. Kita tidak tahu dimana sampah itu dibuang, apakah di tengah laut atau di hutan atau di sungai atau di wilayah pemukiman di luar kota. Yang jelas suatu saat kita harus membayar mahal dengan kualitas limgkungan dan kualitas hidup yang terdegradasi.
Kita harus mengetok kesadaran penduduk di Inggris dan negara maju lainnya untuk menekan pemerintah dan perusahaan mereka agar menghentikan praktek berbahaya ini!
Bulan Desember yang lalu BBC mengangkat kasus ekspor sampah dari Inggris ke Indonesia. Sampah tersebut, sekitar tujuh kontainer dikirimkan sebelum melalui proses recycle yang seharusnya. Sampah tersebut berasal dari daerah Islington, di pusat kota London yang terkenal karena di daerah tersebut (Highbury) berdiri stadion kebanggaan klub Arsenal. Sampah-sampah tersebut seharusnya di recycle oleh perusahaan di Inggris tetapi terdampar jauh sampai ke Jakarta. Para penduduk Islington membayar pajak cukup tinggi dalam bentuk council tax agar sampah-sampah tersebut di recycle. Namun yang terjadi adalah perusahaan pengelola sampah itu mengirimnya langsung ke Indonesia.
Mengelola sampah dengan recycle memang butuh biaya dan kapasitas pengelolaan samapah di London ternyata kesulitan mengatasi perilaku over consumption warga. Secara hukum sampah itu tidak bisa dikirim sebelum diolah tetapi ternyata paradigma "not in my backyard" yang kental di tahun 80-an masih kental mewarnai corak berpikir para pengusaha itu. Dari segi biaya memang lebih murah dan dari segi proses lebih efisien untuk memasukkan sampah tersebut ke dalam kontainer dan mengirimnya ke negara dunia ketiga. Ini perilaku yang berbahaya. Paradigma not in my backyard ini berprinsip bahwa sampah-sampah itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Padahal faktanya tidak tepat seperti itu sebab dunia ini ibaratnya satu kampung kecil dimana kerusakan lingkungan di satu negara pasti akan berdampak global dalan jangka pendek maupun panjang. Lihat saja kasus pemanasan global yang mempengaruhi bumi secara global. Lihat pula laju deforestrasi di Indonesia dan Brazil yang menyumbang terhadap abnormalitas iklim secara global.
Dari segi etis juga tindakan ekspor sampah beracun in sangat berbahaya bagi negara penerima. Dalam hal ini Indonesia yang penegakan hukumnya masih lemah sangat rentan terhadap kegiatan ilegal semacam ini. Indonesia tidak punya kapasitas mengelola sampah dengan baik dan masih sibuk berjuang mengatasi masalah sampah domestik khususnya di kota-kota besar. Lihat saja bagaimana kasus TPA Bojong masih terus menjadi masalah berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini. Mengirimkan sampah ke negara seperti Indonesia adalah tindakan amoral karena sampah ini akan berakhir di daerah berpenduduk miskin. Penduduk miskin ini rentan karena akses mereka terhadap informasi dan sarana pelayanan kesehatan sangat rendah.
Kita tidak tahu apakah ini sebuah kasus yang acak atau merupakan puncak gunung es dari masalah sampah dunia yang diakibatkan pola excessive consumption. Kita harus memastikan aktivitas ilegal dan amoral ini dihentikan atau kita dan generasi yang akan datang hidup dalam bahaya. Kita tidak tahu dimana sampah itu dibuang, apakah di tengah laut atau di hutan atau di sungai atau di wilayah pemukiman di luar kota. Yang jelas suatu saat kita harus membayar mahal dengan kualitas limgkungan dan kualitas hidup yang terdegradasi.
Kita harus mengetok kesadaran penduduk di Inggris dan negara maju lainnya untuk menekan pemerintah dan perusahaan mereka agar menghentikan praktek berbahaya ini!