Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (1):
“Anak Petani yang Ingin Sekolah Tinggi”
Asnawi Abdullah, London
Masih teringat dengan jelas pesan orang tuaku, waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Katanya, “Kalau mau ubah nasib, Nak, kamu harus sekolah yang tinggi. Kalau tidak, yah, kamu akan jadi petani seperti bapakmu ini nantinya."
Saya kira, tidak ada hal yang istimewa dengan kata-kata itu bagi kebanyakan orang, namun bagi saya hal itu cukup mengusik pikiran. Artinya, kalau saya tidak sekolah sampai ke perguruan tinggi, nasib saya tidak akan berubah: akan jadi petani meneruskan profesi leluhur, banting tulang di tengah sawah di bawah sengatan matahari dan cucuran keringat dengan hasil panen tidak seberapa bila dihitung dengan cost dan pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Berminggu-minggu kata-kata tersebut tidak hilang dalam benak.’Sekolah yang tinggi’, ‘perguruan tinggi’, ‘jadi petani’, ‘ubah nasib’, itulah beberapa ‘keywords’ yang terus menghantuiku saat itu. Beberapa deretan pertanyaan lain juga bermunculan, berdialog dengan jiwa sendiri terjadi begitu sering. “OK, OK, siapa sih yang nggak mau mengubah nasib, siapa yang mau jadi petani terus, siapa yang nggak mau sekolah sampai ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana caranya? Apakah punya duit untuk menyekolahkan aku?” Kalau dihitung dari hasil panen selama ini, ditambah job sampingan orang tuaku lainnya, paling banter aku hanya mampu bersekolah sampai SMA, tidak lebih dari itu!
Banyak bukti sudah. Selama ini yang tamat dari SMA saja (di kampungku nun jauh di Aceh) bisa dihitung dengan jari, apalagi tamatan perguruan tinggi. “Kalau hanya tamatan SMA, lebih baik tidak sekolah saja,” keluh aku pada waktu itu. Bagiku, itu hanya menambah citra negatif tentang anak sekolah: tiga tahun umur habis di SMP dan tiga tahun lagi habis di SMA, paling bisa cuma …, dan tidak ada skill khusus yang membuat berbeda dengan anak yang tidak sekolah. Sangat kontras, kalau enam tahun dihabiskan di pesantren, perubahannya begitu nyata. Mereka mampu jadi imam, memberi khotbah, membaca kitab-kitab berbahasa Arab “gundul”, menguasai tata bahasa Arab dengan baik dan mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan begitu baik...
Memang, kampungku pada saat itu punya tradisi pesantren yang kuat. Secara rata-rata, anak-anak cerdas kebanggaan dan kesayangan orang tua dikirim ke pesantren, menuntut ilmu akhirat. Sangat jarang yang dikirim ke sekolah. Pada saat itu belum ada satupun “tukang insinyur”. Sekolah bagi sebagian orang itu tidak hanya identik dengan keduniawian dan dunia sekular, tapi juga identik dengan duit dan mahal. Tidak banyak orang tua yang sanggup menyekolahkan anaknya.
Pada suatu pagi, aku memutuskan dan berikrar, bahwa pada suatu hari aku akan meninggalkan sawah-sawah kebanggaan orang tuaku ini, meninggalkan kampung, tidak untuk ke pesantren, namun mencari sekolah terbaik. Badan aku tidak begitu kuat, untuk terus menggarap sawah yang semakin hari semakin menyempit dengan pembukaan ladang-ladang minyak oleh ExxonMobil.
Kemudian, beberapa strategi aku buat. Pertama, tidak ada pilihan lain, belajar yang rajin, jadi juara, dan yakinkan orang tua dan keluarga besarku bahwa aku ini lebih cocok ke sekolah daripada ke pesantren. Alhamdulillah, dengan izin Allah, aku lulus juara satu dari SD. Hasil ini, aku jadikan alat tawar menawar dengan Ibuku, agar beliau mengurunkan niatnya untuk mengirimkan aku ke pesantren. Dengan bantuan bapakku, mama mengizinkan aku melanjutkan ke SMP, dengan catatan, malam hari harus mengaji dan setelah tamat SMP pergi ke pesantren. Aku setuju dengan persyaratan itu. Namun dalam hati kecilku, mudah-mudahan Allah membantu aku agar bisa sampai ke SMA.
Di SMP, semangat belajar aku cukup tinggi, rangking satu dari kelas 1 sampai kelas 3 dan akhirnya aku bisa lulus dengan NEM tertinggi waktu itu. Dengan modal NEM tertinggi, sebenarnya aku punya kebebasan untuk memilih SMA terbaik, namun sayang pada saat itu, sistem Rayon diterapkan. Hanya SMA dalam satu rayon yang diperkenankan untuk dimasuki. Kalau mau sekolah di luar rayon, kami harus mempunyai surat izin khusus dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
Berdasarkan sistem rayonisasi, aku hanya diperkenankan sekolah di SMA Negeri 1 Lhoksukon. Sementara, aku ingin sekolah di SMA Negeri I di Lhokseumawe. Secara diam-diam, tanpa memberitahu orang tuaku, pagi itu aku ke Lhoksumawe. Sampai di sana, aku terkejut karena beberapa teman SMPku sudah duluan di sana, mereka semuanya mengantongi surat sakti bebas rayonisasi dan itu berarti mereka punya peluang besar untuk sekolah di SMA Negeri I Lhokseumawe. Lima orang dari mereka mendaftar di Loket 1, sementara aku memilih loket yang paling sepi, di loket 5. Begitu map pendaftaran aku serahkan, si petugas melihat satu persatu berkasku dan dia bolak balik mencari surat bebas rayon. Sementara aku hanya diam sambil menbaca berdoa dalam hati “Ya Allah mudahkanlah urusan hambamu ini” dan akhirnya, Alhamdulillah, dia tidak mempersoalkan mengenai surat bebas rayon. Dengan perasaan lega aku pergi dari loket 5 tersebut.
Seminggu berikutnya, pengumuman kelulusan ditempel dan sangat mengejutkan, yang diterima hanya dua orang termasuk aku. Empat teman yang lain, menanyakan berapa aku bayar petugas sehingga aku tidak dimintai Surat Bebas Rayon dan bisa lulus. Waduh! Aku cuma bilang, “Ini semuanya kehendak Allah, mungkin Allah yang berkendak aku sekolah di sini.” Tentu, mereka tidak bisa menerima alasan aku begitu saja. Dalam hati kecilku, terserah saja (apa kata mereka), yang penting aku sudah diterima di SMA 1 Lhokseumawe. Tugas penting aku berikutnya adalah bagaimana menyakinkan orang tua agar aku lulus ke babak berikutnya : agar diberi izin untuk melanjutkan sekolah…!
Berikutnya : “Bersekolah di Lhokseumawe”
Asnawi Abdullah, London
Masih teringat dengan jelas pesan orang tuaku, waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Katanya, “Kalau mau ubah nasib, Nak, kamu harus sekolah yang tinggi. Kalau tidak, yah, kamu akan jadi petani seperti bapakmu ini nantinya."
Saya kira, tidak ada hal yang istimewa dengan kata-kata itu bagi kebanyakan orang, namun bagi saya hal itu cukup mengusik pikiran. Artinya, kalau saya tidak sekolah sampai ke perguruan tinggi, nasib saya tidak akan berubah: akan jadi petani meneruskan profesi leluhur, banting tulang di tengah sawah di bawah sengatan matahari dan cucuran keringat dengan hasil panen tidak seberapa bila dihitung dengan cost dan pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Berminggu-minggu kata-kata tersebut tidak hilang dalam benak.’Sekolah yang tinggi’, ‘perguruan tinggi’, ‘jadi petani’, ‘ubah nasib’, itulah beberapa ‘keywords’ yang terus menghantuiku saat itu. Beberapa deretan pertanyaan lain juga bermunculan, berdialog dengan jiwa sendiri terjadi begitu sering. “OK, OK, siapa sih yang nggak mau mengubah nasib, siapa yang mau jadi petani terus, siapa yang nggak mau sekolah sampai ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana caranya? Apakah punya duit untuk menyekolahkan aku?” Kalau dihitung dari hasil panen selama ini, ditambah job sampingan orang tuaku lainnya, paling banter aku hanya mampu bersekolah sampai SMA, tidak lebih dari itu!
Banyak bukti sudah. Selama ini yang tamat dari SMA saja (di kampungku nun jauh di Aceh) bisa dihitung dengan jari, apalagi tamatan perguruan tinggi. “Kalau hanya tamatan SMA, lebih baik tidak sekolah saja,” keluh aku pada waktu itu. Bagiku, itu hanya menambah citra negatif tentang anak sekolah: tiga tahun umur habis di SMP dan tiga tahun lagi habis di SMA, paling bisa cuma …, dan tidak ada skill khusus yang membuat berbeda dengan anak yang tidak sekolah. Sangat kontras, kalau enam tahun dihabiskan di pesantren, perubahannya begitu nyata. Mereka mampu jadi imam, memberi khotbah, membaca kitab-kitab berbahasa Arab “gundul”, menguasai tata bahasa Arab dengan baik dan mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan begitu baik...
Memang, kampungku pada saat itu punya tradisi pesantren yang kuat. Secara rata-rata, anak-anak cerdas kebanggaan dan kesayangan orang tua dikirim ke pesantren, menuntut ilmu akhirat. Sangat jarang yang dikirim ke sekolah. Pada saat itu belum ada satupun “tukang insinyur”. Sekolah bagi sebagian orang itu tidak hanya identik dengan keduniawian dan dunia sekular, tapi juga identik dengan duit dan mahal. Tidak banyak orang tua yang sanggup menyekolahkan anaknya.
Pada suatu pagi, aku memutuskan dan berikrar, bahwa pada suatu hari aku akan meninggalkan sawah-sawah kebanggaan orang tuaku ini, meninggalkan kampung, tidak untuk ke pesantren, namun mencari sekolah terbaik. Badan aku tidak begitu kuat, untuk terus menggarap sawah yang semakin hari semakin menyempit dengan pembukaan ladang-ladang minyak oleh ExxonMobil.
Kemudian, beberapa strategi aku buat. Pertama, tidak ada pilihan lain, belajar yang rajin, jadi juara, dan yakinkan orang tua dan keluarga besarku bahwa aku ini lebih cocok ke sekolah daripada ke pesantren. Alhamdulillah, dengan izin Allah, aku lulus juara satu dari SD. Hasil ini, aku jadikan alat tawar menawar dengan Ibuku, agar beliau mengurunkan niatnya untuk mengirimkan aku ke pesantren. Dengan bantuan bapakku, mama mengizinkan aku melanjutkan ke SMP, dengan catatan, malam hari harus mengaji dan setelah tamat SMP pergi ke pesantren. Aku setuju dengan persyaratan itu. Namun dalam hati kecilku, mudah-mudahan Allah membantu aku agar bisa sampai ke SMA.
Di SMP, semangat belajar aku cukup tinggi, rangking satu dari kelas 1 sampai kelas 3 dan akhirnya aku bisa lulus dengan NEM tertinggi waktu itu. Dengan modal NEM tertinggi, sebenarnya aku punya kebebasan untuk memilih SMA terbaik, namun sayang pada saat itu, sistem Rayon diterapkan. Hanya SMA dalam satu rayon yang diperkenankan untuk dimasuki. Kalau mau sekolah di luar rayon, kami harus mempunyai surat izin khusus dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
Berdasarkan sistem rayonisasi, aku hanya diperkenankan sekolah di SMA Negeri 1 Lhoksukon. Sementara, aku ingin sekolah di SMA Negeri I di Lhokseumawe. Secara diam-diam, tanpa memberitahu orang tuaku, pagi itu aku ke Lhoksumawe. Sampai di sana, aku terkejut karena beberapa teman SMPku sudah duluan di sana, mereka semuanya mengantongi surat sakti bebas rayonisasi dan itu berarti mereka punya peluang besar untuk sekolah di SMA Negeri I Lhokseumawe. Lima orang dari mereka mendaftar di Loket 1, sementara aku memilih loket yang paling sepi, di loket 5. Begitu map pendaftaran aku serahkan, si petugas melihat satu persatu berkasku dan dia bolak balik mencari surat bebas rayon. Sementara aku hanya diam sambil menbaca berdoa dalam hati “Ya Allah mudahkanlah urusan hambamu ini” dan akhirnya, Alhamdulillah, dia tidak mempersoalkan mengenai surat bebas rayon. Dengan perasaan lega aku pergi dari loket 5 tersebut.
Seminggu berikutnya, pengumuman kelulusan ditempel dan sangat mengejutkan, yang diterima hanya dua orang termasuk aku. Empat teman yang lain, menanyakan berapa aku bayar petugas sehingga aku tidak dimintai Surat Bebas Rayon dan bisa lulus. Waduh! Aku cuma bilang, “Ini semuanya kehendak Allah, mungkin Allah yang berkendak aku sekolah di sini.” Tentu, mereka tidak bisa menerima alasan aku begitu saja. Dalam hati kecilku, terserah saja (apa kata mereka), yang penting aku sudah diterima di SMA 1 Lhokseumawe. Tugas penting aku berikutnya adalah bagaimana menyakinkan orang tua agar aku lulus ke babak berikutnya : agar diberi izin untuk melanjutkan sekolah…!
Berikutnya : “Bersekolah di Lhokseumawe”