Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (3) :
“Kuliah dan bekerja di pulau seberang”
Asnawi Abdullah, London
Satu bulan setelah pengumuman kelulusan SMA, surat dari UI dan IPB datang, dan aku diterima di dua-duanya. Langsung aku melaporkan ke Ibu wali kelasku, ternyata dia sudah tahu duluan, bahkan sudah lebih jauh, ia sudah menghubungi beberapa pengurus inti yayasan Almuntaha, sebuah yayasan yang dikelola oleh pengurus mesjid kompleks PT Pupuk Iskandar Muda.
Aku disuruh bertemu dengan pengurus Yayasan Almuntaha untuk wawancara. Wawancara ternyata cukup berbeda seperti aku bayangkan. Pertama-tama aku disuruh sembahyang di depan committee, disuruh mengaji dan ceramah di Mesjid, baru wawancara. Alhamdulillah, malam itu juga, aku dinyatakan lulus dan mendapat beasiswa dari Yayasan Almuntaha dan resmi menjadi anak asuh Yayasan.
Aku dibelikan tiket kapal laut dan uang tunai 500 ribu untuk berangkat ke Jakarta. Beasiswa bulan pertama hingga bulan-bulan berikutnya aku terima sebanyak 90.000 rupiah dengan kewajiban melaporkan IP kuliahku di UI per semester serta perincian pengunaan uang. Ya, tidak begitu sulit melaporkan kemana uang 90.000 rupiah per bulan saya gunakan. Bisa dibayangkan, sudah pasti nggak cukup! Namun mulai semester ketiga, beasiswa naik menjadi 250.000,- Sejak itu kehidupanku sedikit berkecukupan. Eksesnya, di semester III IPku turun dari target dan aku mendapat peringatan akan dikurangi beasiswanya bila IP terus menurun. Alhamdulillah, aku bisa dapat beasiswa sampai tamat dari universitas.
Setelah tamat, aku merasa ‘nggak pede’ dengan ilmu yang telah aku peroleh. Pada saat itu, aku berpikir untuk ambil S-2. Tahun 1995 aku ikut test dan memilih bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan kelas sore, supaya aku bisa bekerja pagi hari. Pada saat itu aku sudah bekerja di sebuah perusahaan penjualan alat-alat laboratorium dan alat alat keselamatan kerja. Tapi sayangnya, aku diterima di kelas pagi. Akhirnya aku tidak bisa kuliah.
Sejak itu, semangat memburu informasi beasiswa mulai tumbuh. Aku selalu buka mata dan pasang telinga lebar-lebar mengenai beasiswa, terutama beasiswa ke Jepang. Kenapa ke Jepang? Pertama, bahasa Inggris aku tidak begitu baik, tidak akan mungkin menang bersaing dengan teman-teman. Kedua, karena aku sudah kursus bahasa Jepang sejak semester 6. Namun sayangnya, beasiswa ke Jepang, hanya untuk PNS pada waktu itu. Berakhirlah harapan untuk ke Jepang untuk sementara. Pada saat itu terlintas dipikiran, untuk mendaftar menjadi PNS agar bisa sekolah ke Jepang.
Namun, aku menyadari bahwa menjadi PNS tidak begitu gampang, harus punya KKN atau sejenis itulah. Ini yang aku tidak punya. Selama ini aku hanya ber-KKN dengan Allah. Namun akhirnya terpikir, ya, apa salahnya mendaftar? Siapa tahu diterima? Kemudian strategipun berubah. Kembali belajar bahasa Inggris seperti kebanyakan orang lain lakukan. Untuk bea kursus, aku jual komputer, sedangkan bea hidup masih aku dapatkan dari kerja, walaupun cuma gaji pokok, karena gaji tambahan (bonus penjualan) aku tidak pernah dapatkan disebabkan jualanku belum pernah laku. Memang, kelihatannya aku ini tidak cocok bekerja di perusahaan tersebut, pikirku menghibur diri.
Sambil meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, cukup sering aku pergi ke beberapa kedutaan, lembaga pemberi beasiswa menanyakan informasi beasiswa dan jadi member beberapa perpustakaan seperti British Council. Hampir semua beasiswa pada saat itu diperuntukkan untuk PNS, plus pengalaman kerja beberapa tahun. Semua hal itu tidak saya miliki waktu itu.
Akhirnya, aku membuat keputusan untuk pulang ke Aceh, karena aku tahu sering kali ada lowongan bagi Sarjana Kesehatan Masyarakat untuk Aceh yang tidak terisi.
Berikutnya :
“Kembali ke Aceh, menjadi pegawai negeri”
Asnawi Abdullah, London
Satu bulan setelah pengumuman kelulusan SMA, surat dari UI dan IPB datang, dan aku diterima di dua-duanya. Langsung aku melaporkan ke Ibu wali kelasku, ternyata dia sudah tahu duluan, bahkan sudah lebih jauh, ia sudah menghubungi beberapa pengurus inti yayasan Almuntaha, sebuah yayasan yang dikelola oleh pengurus mesjid kompleks PT Pupuk Iskandar Muda.
Aku disuruh bertemu dengan pengurus Yayasan Almuntaha untuk wawancara. Wawancara ternyata cukup berbeda seperti aku bayangkan. Pertama-tama aku disuruh sembahyang di depan committee, disuruh mengaji dan ceramah di Mesjid, baru wawancara. Alhamdulillah, malam itu juga, aku dinyatakan lulus dan mendapat beasiswa dari Yayasan Almuntaha dan resmi menjadi anak asuh Yayasan.
Aku dibelikan tiket kapal laut dan uang tunai 500 ribu untuk berangkat ke Jakarta. Beasiswa bulan pertama hingga bulan-bulan berikutnya aku terima sebanyak 90.000 rupiah dengan kewajiban melaporkan IP kuliahku di UI per semester serta perincian pengunaan uang. Ya, tidak begitu sulit melaporkan kemana uang 90.000 rupiah per bulan saya gunakan. Bisa dibayangkan, sudah pasti nggak cukup! Namun mulai semester ketiga, beasiswa naik menjadi 250.000,- Sejak itu kehidupanku sedikit berkecukupan. Eksesnya, di semester III IPku turun dari target dan aku mendapat peringatan akan dikurangi beasiswanya bila IP terus menurun. Alhamdulillah, aku bisa dapat beasiswa sampai tamat dari universitas.
Setelah tamat, aku merasa ‘nggak pede’ dengan ilmu yang telah aku peroleh. Pada saat itu, aku berpikir untuk ambil S-2. Tahun 1995 aku ikut test dan memilih bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan kelas sore, supaya aku bisa bekerja pagi hari. Pada saat itu aku sudah bekerja di sebuah perusahaan penjualan alat-alat laboratorium dan alat alat keselamatan kerja. Tapi sayangnya, aku diterima di kelas pagi. Akhirnya aku tidak bisa kuliah.
Sejak itu, semangat memburu informasi beasiswa mulai tumbuh. Aku selalu buka mata dan pasang telinga lebar-lebar mengenai beasiswa, terutama beasiswa ke Jepang. Kenapa ke Jepang? Pertama, bahasa Inggris aku tidak begitu baik, tidak akan mungkin menang bersaing dengan teman-teman. Kedua, karena aku sudah kursus bahasa Jepang sejak semester 6. Namun sayangnya, beasiswa ke Jepang, hanya untuk PNS pada waktu itu. Berakhirlah harapan untuk ke Jepang untuk sementara. Pada saat itu terlintas dipikiran, untuk mendaftar menjadi PNS agar bisa sekolah ke Jepang.
Namun, aku menyadari bahwa menjadi PNS tidak begitu gampang, harus punya KKN atau sejenis itulah. Ini yang aku tidak punya. Selama ini aku hanya ber-KKN dengan Allah. Namun akhirnya terpikir, ya, apa salahnya mendaftar? Siapa tahu diterima? Kemudian strategipun berubah. Kembali belajar bahasa Inggris seperti kebanyakan orang lain lakukan. Untuk bea kursus, aku jual komputer, sedangkan bea hidup masih aku dapatkan dari kerja, walaupun cuma gaji pokok, karena gaji tambahan (bonus penjualan) aku tidak pernah dapatkan disebabkan jualanku belum pernah laku. Memang, kelihatannya aku ini tidak cocok bekerja di perusahaan tersebut, pikirku menghibur diri.
Sambil meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, cukup sering aku pergi ke beberapa kedutaan, lembaga pemberi beasiswa menanyakan informasi beasiswa dan jadi member beberapa perpustakaan seperti British Council. Hampir semua beasiswa pada saat itu diperuntukkan untuk PNS, plus pengalaman kerja beberapa tahun. Semua hal itu tidak saya miliki waktu itu.
Akhirnya, aku membuat keputusan untuk pulang ke Aceh, karena aku tahu sering kali ada lowongan bagi Sarjana Kesehatan Masyarakat untuk Aceh yang tidak terisi.
Berikutnya :
“Kembali ke Aceh, menjadi pegawai negeri”
wakakakaka.. lucu banget kisah lo mengubah nasib bang. terharu gw..
gw juga lagi memburu beasiswa ke luar negri nih. gw anak UI yang merantau ke Aceh setelah tsunami. gw tinggal di Lhokseumawe. daerah kerja di Aceh Utara. Ngajarin baca anak-anak yang kalo sekolah ngga pake selop, baju lecek, dan muka berkerak ingus. kadang gw stres juga. ngajarin anak kelas 6 tapi huruf aja ngga tau satupun.. huaa... stres gw.. hiks...
tapi baca cerita lo harapan gw jadi bangkit lagi, kalo satu waktu satu-dua anak yang gw dampingin bisa sekolah tinggi2. biar nasibnya berubah. ya ngga?
amin...
ok d, sukses ya
Posted by Cinintya Dewi | 4:16 pm
aku amat terkesan ama perjuangan abang aku juga ingin ikut ,untuk itu do'akan
Posted by hora!_anwar@Gmail.com | 7:35 am