Di Home of Football Saat Piala Dunia
Swastika, London
Berada di home of football saat Piala Dunia berlangsung, mau tak mau membuat saya memberikan dukungan bagi tim asuhan Sven Goran Eriksson itu. Bagaimana tidak, proses ‘cuci otak’ sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum genderang kompetisi resmi ditabuh. Kibaran bendera St George’s Cross, berupa silang warna merah diatas dasar putih, terlihat menghiasi jendela rumah-rumah di seantero kota London. Dalam ukuran yang lebih kecil, bendera ini berkibar di samping jendela mobil-mobil yang lalu lalang.
Sejak awal Juni 2006 koran-koran Inggris tiap hari memblow-up perkembangan Wayne Rooney dengan cerita 2-3 halaman penuh, plus foto-foto berwarna ukuran besar. Sehari menjelang Piala Dunia dimulai, saya sempat tercenung di kios koran dekat kampus Goldsmiths tercinta. Ketika itu, mau beli koran saja jadi pilihan yang rumit, karena semua koran mengangkat Rooney sebagai berita utama mereka!
Televisi tidak kalah gencarnya. Rooney pulang kampung untuk check-up jadi head line di semua siaran berita berbagai stasiun televisi. Pokoknya setiap gerak striker Manchester United ini tak pernah lepas dari sorotan kamera. Keberangkatan Coleen, kekasih Rooney, ke Jerman pun menjadi berita hangat di halaman depan, dengan foto Coleen mendorong dua buah koper berukuran ekstra besar. Media bahkan berspekulasi, banyaknya barang bawaan Coleen itu pertanda Rooney akan tetap bermain, mungkin setelah masuk babak perempat final. Oh, ada-ada saja!
Main atau tidaknya Rooney juga menjadi obrolan hangat diantara ribuan fans Inggris yang memenuhi lapangan terbuka di Canary Wharf, London menjelang pertandingan perdana Inggris lawan Paraguay, Sabtu, 10 Juni lalu. Saya sengaja berangkat satu jam lebih awal, janji bertemu dengan tiga orang teman asal Indonesia di lokasi. Sesampainya disana, alamaaaaak… taman seluas lapangan bola itu sudah penuh sesak oleh manusia! Padalah kick off masih setengah jam lagi.
Dua buah layar raksasa dipasang di dua taman yang saling berdekatan, menyiarkan match yang paling ditunggu-tunggu warga Inggris. Saya yang hanya berbekal sebotol air minum dan semangat ’45, jelas tidak sebanding dengan penonton lain. Rombongan anak muda dan keluarga dalam kostum musim panas yang serba terbuka, duduk bergerombol diatas rumput sembari menggelar aneka bekal makan siang. Malah ada keluarga yang makan dengan set menu lengkap, mulai dari starter, main course, desert dan wine. Nonton sepak bola rame-rama sekaligus piknik, kombinasi yang pas!
Beberapa menit menjelang kick off, tak ada lagi adegan piknik terlihat. Semua sudah berdiri dan bersorak-sorai menyambut timnasnya. Gelombang warna putih dan merah mendominasi lautan manusia di siang yang sangat panas itu. Rakyat Inggris jelas bersuka cita memberi dukungan pada tim mereka sembadi mandi sinar matahari. Tapi sebagai manusia dari negeri tropis, kami berlima memantapkan posisi untuk menonton dari sisi kanan lapangan yang agak terlindung pepohonan dari terik matahari langsung.
Teriakan gembira, lengkingan terompet dan cipratan bir memenuhi udara begitu Paraguay memasukkan gol bunuh diri, membuat Inggris unggul sementara. Tak lama setelah memasuki babak kedua, tiba-tiba teriakan yang lebih keras terdengar dari sisi kanan lapangan. Sederetan kata-kata makian terlontar, diikuti suara pecahan kaca yang sangat keras!
Sontak perhatiaan penonton teralih. Keributan yang tadinya hanya antara dua orang, dengan cepat menjalar. Seorang pria kulit putih yang kulitnya mulai memerah tampak ditarik-tarik ke pinggir kerumunan oleh dua orang temannya. Segerombolan pria lain masih terdengar meneriakkan kata-kata makian diikuti botol-botol bir beterbangan. Aksi saling melempar inilah yang membuat suasana makin gaduh. Pintu kaca sebuah gedung perkantoran yang terletak persis di kanan lapangan hancur berantakan.
Tidak jelas lagi siapa sumber keributan itu. Saya hanya sempat mendengar bisik-bisik, konon yang berkomentar “England bollock!” alias “Inggris payah nih!”. Yang jelas, pertandingan di layar terhenti, diganti oleh pengumuman yang isinya kira-kira; “Perhatian! Siaran terpaksa kami hentikan sampai keributan reda.” Polisi segera datang ke lokasi, dan berusaha mengendalikan suasana. Namun tak ayal, penonton baru mulai tertib sekitar lima menit sebelum peluit babak kedua ditiup.
Terbukti, kerusuhan antar suporter bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Jangankan antar suporter dua tim yang memang sudah musuh bebuyutan, lah ini sama-sama pendukung Inggris saja bisa ribut kok. ***
Berada di home of football saat Piala Dunia berlangsung, mau tak mau membuat saya memberikan dukungan bagi tim asuhan Sven Goran Eriksson itu. Bagaimana tidak, proses ‘cuci otak’ sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum genderang kompetisi resmi ditabuh. Kibaran bendera St George’s Cross, berupa silang warna merah diatas dasar putih, terlihat menghiasi jendela rumah-rumah di seantero kota London. Dalam ukuran yang lebih kecil, bendera ini berkibar di samping jendela mobil-mobil yang lalu lalang.
Sejak awal Juni 2006 koran-koran Inggris tiap hari memblow-up perkembangan Wayne Rooney dengan cerita 2-3 halaman penuh, plus foto-foto berwarna ukuran besar. Sehari menjelang Piala Dunia dimulai, saya sempat tercenung di kios koran dekat kampus Goldsmiths tercinta. Ketika itu, mau beli koran saja jadi pilihan yang rumit, karena semua koran mengangkat Rooney sebagai berita utama mereka!
Televisi tidak kalah gencarnya. Rooney pulang kampung untuk check-up jadi head line di semua siaran berita berbagai stasiun televisi. Pokoknya setiap gerak striker Manchester United ini tak pernah lepas dari sorotan kamera. Keberangkatan Coleen, kekasih Rooney, ke Jerman pun menjadi berita hangat di halaman depan, dengan foto Coleen mendorong dua buah koper berukuran ekstra besar. Media bahkan berspekulasi, banyaknya barang bawaan Coleen itu pertanda Rooney akan tetap bermain, mungkin setelah masuk babak perempat final. Oh, ada-ada saja!
Main atau tidaknya Rooney juga menjadi obrolan hangat diantara ribuan fans Inggris yang memenuhi lapangan terbuka di Canary Wharf, London menjelang pertandingan perdana Inggris lawan Paraguay, Sabtu, 10 Juni lalu. Saya sengaja berangkat satu jam lebih awal, janji bertemu dengan tiga orang teman asal Indonesia di lokasi. Sesampainya disana, alamaaaaak… taman seluas lapangan bola itu sudah penuh sesak oleh manusia! Padalah kick off masih setengah jam lagi.
Dua buah layar raksasa dipasang di dua taman yang saling berdekatan, menyiarkan match yang paling ditunggu-tunggu warga Inggris. Saya yang hanya berbekal sebotol air minum dan semangat ’45, jelas tidak sebanding dengan penonton lain. Rombongan anak muda dan keluarga dalam kostum musim panas yang serba terbuka, duduk bergerombol diatas rumput sembari menggelar aneka bekal makan siang. Malah ada keluarga yang makan dengan set menu lengkap, mulai dari starter, main course, desert dan wine. Nonton sepak bola rame-rama sekaligus piknik, kombinasi yang pas!
Beberapa menit menjelang kick off, tak ada lagi adegan piknik terlihat. Semua sudah berdiri dan bersorak-sorai menyambut timnasnya. Gelombang warna putih dan merah mendominasi lautan manusia di siang yang sangat panas itu. Rakyat Inggris jelas bersuka cita memberi dukungan pada tim mereka sembadi mandi sinar matahari. Tapi sebagai manusia dari negeri tropis, kami berlima memantapkan posisi untuk menonton dari sisi kanan lapangan yang agak terlindung pepohonan dari terik matahari langsung.
Teriakan gembira, lengkingan terompet dan cipratan bir memenuhi udara begitu Paraguay memasukkan gol bunuh diri, membuat Inggris unggul sementara. Tak lama setelah memasuki babak kedua, tiba-tiba teriakan yang lebih keras terdengar dari sisi kanan lapangan. Sederetan kata-kata makian terlontar, diikuti suara pecahan kaca yang sangat keras!
Sontak perhatiaan penonton teralih. Keributan yang tadinya hanya antara dua orang, dengan cepat menjalar. Seorang pria kulit putih yang kulitnya mulai memerah tampak ditarik-tarik ke pinggir kerumunan oleh dua orang temannya. Segerombolan pria lain masih terdengar meneriakkan kata-kata makian diikuti botol-botol bir beterbangan. Aksi saling melempar inilah yang membuat suasana makin gaduh. Pintu kaca sebuah gedung perkantoran yang terletak persis di kanan lapangan hancur berantakan.
Tidak jelas lagi siapa sumber keributan itu. Saya hanya sempat mendengar bisik-bisik, konon yang berkomentar “England bollock!” alias “Inggris payah nih!”. Yang jelas, pertandingan di layar terhenti, diganti oleh pengumuman yang isinya kira-kira; “Perhatian! Siaran terpaksa kami hentikan sampai keributan reda.” Polisi segera datang ke lokasi, dan berusaha mengendalikan suasana. Namun tak ayal, penonton baru mulai tertib sekitar lima menit sebelum peluit babak kedua ditiup.
Terbukti, kerusuhan antar suporter bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Jangankan antar suporter dua tim yang memang sudah musuh bebuyutan, lah ini sama-sama pendukung Inggris saja bisa ribut kok. ***