« Home | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (3) : » | The Longest Day, 21 June 2006 » | Is Globalisation a New? (part 2) » | Di Home of Football Saat Piala Dunia » | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (2) : » | Ketika Eriksson dan masyarakat Inggris bertaruh… » | Chevening pada 'pukulan ketiga' » | Selamat Ulang Tahun, Shakespeare! » | Is Globalisation a New? (part 1) » | Are we observing earth's sustainable destruction? » 

05 July 2006 

Tragedi Ujian Nasional

Hadi Haryanto, Surrey

Sebuah kisah baru muncul ditengah-tengah bencana Gempa Jogja, banjir bandang Sinjai.
Bencana ini dirasakan oleh ribuan anak-anak SMA yang menjadi korban sistem ujian nasional yang hanya melihat dari tiga mata pelajaran saja; Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. Sampai kapankah try and errror sistem pendidikan nasional Indonesia akan berakhir? Berapa banyak lagikah korban-korban system baru akan berjatuhan.

Hari ini siswa-siswa -- yang sebenarnya berprestasi namun jatuh di satu mata ujian-- melakukan demo dan mendatangi KOMNAS HAM. Di hari yang lain, ada siswa yang mencoba membakar sekolahnya, setelah dimarahi sang kakak karena ketidaklulusannya. Di saat yang lain sudah ada pelajar yang rela mengakhiri hidupnya karena tidak lulus ujian negara. Meskipun ada masalah mengenai rentan-nya psikologis adik-adik kita dalam menerima hasil Ujian Negara, artikel ini hanya mengangkat aspek Ujian Negara itu sendiri.

Pemerintah mungkin bermaksud mengembangkan standard mutu kelulusan siswa SMA dengan adanya ujian negara di atas. Namun mengapa yang menjadi objek penderita adalah langsung siswa-siswa? Apakah serentetan ujian yang dilakukan di internal sekolah, maupun ujian-ujian masuk perguruan tinggi belum cukup untuk menyaring mereka? Apakah dengan lulus ujian negara, mereka serta merta akan lulus ujian masuk perguruan tinggi? Rasanya kok tidak yaa...

Apakah akreditasi sekolah belum cukup? Atau apakah akreditasi yang ada selama ini terbukti belum efektif men-standardisasikan mutu lulusan SMA? Bisa jadi iya. Karena terbukti ada saja sekolah yang satupun siswanya tidak lulus UN. Atau bisa jadi proses akreditasinya yang nggak efektif. Saya kok melihatnya seperti itu. Ditambah lagi, katanya sistem berbasis kompetensi yang bagus itu, belum dapat dijalankan oleh sekolah-sekolah. Banyak guru-guru yang belum bener-bener menjiwai sistem ini, mereka mengajar dengan frame-work lama mereka. Yaah itulah tantangannya.

Anyway apapun sistemnya, kalau siswa yang menjadi korban sangat banyak, something wrong with the system. Daripada pemerintah menentukan kelulusan siswa secara terpusat seperti ini mengapa nggak dicari cara lain? Bagus saja jika pemerintah membuat semacam award terpusat, untuk menghargai anak-anak yang bisa mencapai nilai UN tertinggi.. katakanlah A Level, Upper level, merit atau apapun itu. Namun untuk menentukan kelulusan seorang anak, mengapa tidak menyerahkan kepada sekolah masing-masing? Bukankah mereka yang lebih tahu tentang kemampuan siswa? Tidak mungkin memaksakan semua anak bagus di matematika, sementara mengabaikan kemampuannya di bidang olahraga, seni atau organisasi atau pelajaran-pelajaran lainnya. Dimana letak konsep pendidikan berbasis kompetensi di sini kalau yang menentukan kelulusan hanya matematika dan bahasa....?!

Apakah anak Indonesia yang kompeten adalah yang bagus Bahasa Indonesia-nya, Bahasa Inggris-nya, dan matematikanya saja ?? Kalau memang seperti itu.. wah akan mati semua kompetensi non-exact atau non-bahasa yaa.. :-)

Benar kata salah seorang siswa, kalau emang 3 tahun masa belajar hanya ditentukan oleh 3 mata pelajaran selama 2 jam ujian. Lebih baik mereka berbondong-bondong masuk bimbingan belajar dan melupakan proses pendidikan yang sebenarnya. Lupakan mata pelajaran yang lain yang banyak itu. Selamat datang mekanisasi pendidikan Indonesia.

Duh-duuh.. mudah-mudahan system dengan anomali besar ini segera berakhir. Bakalan kerja keras nih dan bakalan deg-degan juga kalau anak-anak saya harus merasakan system amburadul ini.

Baca juga: http://www.kompas.com/metro/news/0606/21/082032.htm

Salam,
OK masukkan anda bagus telah diterima pemerintah. Ujian nasional tidak lagi 3 tapi menjadi 6 sesuai dengan pemikiran Anda. Masalahnya, mengapa mereka masih protes juga. Mengapa demikian?
Bila ujian akhir ini dikembalikan ke sekolah, maka objek penderitanya adalah para guru yang tidak punya keberanian untuk tidak meluluskan para siswanya yang memang pantas tidak lulus.
Bisa terancam jiwa para guru kita. Demi cari selamat akhirnya diluluskan saja semuanya. Apa tidak sama bohomg juga?
Save Unas 2008!

www.smart-unas.blogspot.com

Post a Comment

About us

Quote of the Day

Syndication & Statistic

    Syndicate this site (XML)

    Subscribe to Brainstorm

    Add to Google

    Blogger Templates

    eXTReMe Tracker