« Home | Tragedi Ujian Nasional » | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (3) : » | The Longest Day, 21 June 2006 » | Is Globalisation a New? (part 2) » | Di Home of Football Saat Piala Dunia » | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (2) : » | Ketika Eriksson dan masyarakat Inggris bertaruh… » | Chevening pada 'pukulan ketiga' » | Selamat Ulang Tahun, Shakespeare! » | Is Globalisation a New? (part 1) » 

06 July 2006 

Demokrasi Kita Hari Ini

Deddy Sitorus, London

Dua minggu terakhir jagad politik dan media diramaikan oleh isu seputar Perda Syariat, Abu Bakar Basyir dan Kelompok Fundamentalis. Sekitar 56 orang parlementarian dari berbagai partai mempertanyakan keberadaan lebih dari tiga puluh daerah tingkat dua yang memberlakukan perda berdasarkan syariat Islam. Wacana ini terkait dengan insiden Purwakarta antara kelompok FPI cs dengan Gus Dur dan momentum Harlah Pancasila 1 Juni.


Adalah realitas bahwa tekanan politik untuk pemberlakuan Syariat Islam akan terus muncul sebab kubu politik di negeri ini masih terbelah antara ideologi agama (Islam) dengan ideologi nasionalis (sekuler). Tekanan ke arah itu adalah niscaya dan tidak bisa dinafikan begitu saja. Persoalannya adalah bagaimana hal itu dikelola sehingga tidak menjurus kepada perpecahan, sehingga perlu didiskusikan sampai sejauh mana perda-perda atau aturan lain yang berlandaskan satu pemahaman agama bisa ditolerir agar menjadi energi positif untuk kemajuan dan bukannya sebagai cikal bakal kehancuran. Perlu dipahami bahwa rumah bernama Indonesia ini hanya bisa bertahan ketika semua kelompok mendapatkan ruang hidup dan berkembang, jika tidak maka keterpurukan bahkan balkanisasi akan hadir dari benturan ideologi dari dalam tanpa harus ada campur tangan pihak luar.

Adalah hal yang menyedihkan bahwa di tengah keterpurukan bangsa ini, kita justru melupakan hal-hal yang mendasar untuk mendobrak kebuntuan yang ada. Persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini adalah hal-hal yang brkaitan dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari harga-harga (bahan pangan, transport, bahan produksi dan sebagainya) hingga persoalan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dll). Belum lagi soal lapangan kerja, akses terhadap modal dan kemudahan berusaha hingga penegakan hukum dan persoalan keadilan. Pemerintah kesulitan dan tidak memiliki terobosan atas persoalan-persoalan di atas dan DPR tidak punya energi kreatif dalam melakukan koreksi dan memberikan solusi.

Ini adalah hal-hal yang tidak terlalu dipersoalkan oleh kelompok yang melakukan advokasi politik theokrasi. Mereka lupa bahwa bagi masyarakat yang kelaparan dan tidak punya pekerjaan, agama bukanlah sesuatu yang prioritas. Perjuangan untuk masyarakat yang berakhlak dan bermoral tinggi tidak akan tercapai ketika orang masih sibuk dengan soal-soal survival, ketika korupsi dan pembengkokan ukum merajalela.

Sebaliknya kaum nasionalis (sekuler) juga tidak bisa hanya berparadigma "pokoke" NKRI, mengabaikan fakta ketidak adilan dan pengabaian agenda-agenda kesejahteraan. Meminjam kalimat Romo Mangun, buat apa merdeka dan berdaulat kalau tidak mensejahterakan? Nasionalisme haruslah relevan dan esensial dan tidak dogmatis kalau tidak mau kehilangan relevansi. Nasionalisme harus mampu memberi jawaban atas realitas kekinian dan visi ke depan. Tanpa itu, nasionalisme itu tidak punya daya hidup.

Mayoritas muslim di negeri ini, jika jumlah pengikut kelompok fundamentalisme hendak dibandingkan dengan kelompok mainsream tidaklah terlalu hirau dengan aturan berdasarkan syariat atau tidak. The silent majority umat islam sebagai mana diungkapkan Moeslm Abdulrachman tidaklah in favor syariat Islam. Tetapi tekanan untuk iu tidaklah boleh dipadamkan dengan kekerasan. Bahkan FPI atau Laskar Jihad punya hak hidup sepanjang mereka tidak melanggar hukum. Membubarkan mereka secara serampangan bisa berdampak buruk terhadap demokrasi dalam hal ini hak bersuara dan membentuk kelompok. Pemerintah dan aparat hukum hendaknya bersikap tegas terhadap setiap pelanggaran sebab pembiaran akan berdampak pada eskalasi konflik yang tidak diharapkan. Cukuplah sudah para elit keamanan dan politisi menjadikan isu agama sebagai mainan politik.

Demokrasi kita sedang mencari bentuknya dan dalam perjalanan ini peluang pada kembalinya otoritarianisme masih terbuka jika politisi sekarang tidak mampu membawa perubahan. Kita semua juga harus berpartisipasi dan tidak boleh jerih bersuara, sikap bungkam hanya akan membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Politisi kita baru kembali sekolah setelah drop out selama 32 tahun, perlu dorongan yang kuat dari publik supaya mereka belajar dengan cepat!


About us

Quote of the Day

Syndication & Statistic

    Syndicate this site (XML)

    Subscribe to Brainstorm

    Add to Google

    Blogger Templates

    eXTReMe Tracker