« Home | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (4) : » | Is neoliberalism anti democracy? » | Kedipan Cristiano Ronaldo, Kegeraman Para Singa » | Demokrasi Kita Hari Ini » | Tragedi Ujian Nasional » | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (3) : » | The Longest Day, 21 June 2006 » | Is Globalisation a New? (part 2) » | Di Home of Football Saat Piala Dunia » | Memburu Beasiswa, Upaya Mengubah Nasib (2) : » 

27 July 2006 

Tepat Sepuluh Tahun Silam

Israr Ardiansyah, London

Tepat sepuluh tahun silam, di petang itu, aku berkumpul bersama keluargaku di depan TV. Pandangan kami semua tertumbuk pada api membara dan suasana hiruk-pikuk Jakarta yang disajikan layar kaca. Kami menyaksikan pria-pria berbadan tegap memakai kaos merah melempari dan menyerbu massa yang berusaha mempertahankan gedung partainya.


Hari itu 27 Juli 1996, bukan hari biasa dalam sejarah Indonesia. Ia adalah hari yang akan mengubah arah gerak bangsa.

Banyak orang menjadi korban. Banyak yang terlupakan. Angka jumlah kematian dan orang yang dihilangkan secara paksa seusai 27 Juli itu telah ditulis dengan tinta darah tetapi tetap tidak dapat terbaca mereka yang sudah dimabuk kuasa.

"There are three kind of lies: lies, damned lies, and statistics," ucap negarawan Inggris masyhur Benyamin Disraeli. Ketika jumlah orang yang meninggal menjadi tidak ubahnya statistik biasa, maka 27 Juli adalah hari puncak matinya rasa manusia bangsa Indonesia dan hari kemenangan penguasa yang menyemai dusta.

"Bangsa sendiri kok dibunuhi," ucap ibuku waktu itu.

Setiap tahun para korban selalu menuntut keadilan. Tetapi, keadilan tidak pernah datang menemui mereka. Indonesia dari hari ke hari semakin memiliki banyak hari yang akan dikenang dengan darah: darah yang dialirkan oleh bangsa sendiri.

27 Juli menjadi jurisprudensi, menjadi contoh kemenangan syahwat untuk berkuasa, mengalahkan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Peristiwa demi peristiwa berlalu dan akhirnya impunitas semakin menjadi tradisi memuakkan di negeri ini. Pengadilan dan penjara lebih banyak dirasakan oleh pencuri kelas teri. Sehebat-hebat mitos kebal senjata yang melekat pada para jagoan di tahun 1980an, tak ada yang lebih hebat dari kekuatan kebal hukum yang dimiliki tokoh-tokoh yang tidak tersentuh pengadilan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Bagi para korban, keadilan bagaikan mimpi indah yang tak kunjung tiba. Mereka masih selalu akan menantikan pengungkapan kebenaran yang akan membuat mereka bisa menikmati udara segar di negeri sendiri: udara yang tidak dicemari oleh bau busuk kekuasaan dan anyir darah para korban.

Di sini, kembali aku merenungi dusta yang mulai ditabur bagi bangsa kita, tepat sepuluh tahun silam...
(Israr Ardi, 27 Juli 2006)

About us

Quote of the Day

Syndication & Statistic

    Syndicate this site (XML)

    Subscribe to Brainstorm

    Add to Google

    Blogger Templates

    eXTReMe Tracker